SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Jumat, 15 Oktober 2010

Raja-raja Di Malaiysia Berdarah Bugis

Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.

Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia di Makassar, Rabu.

"Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja," kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.

Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.

Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.

Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.

Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.

"Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase," paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.

Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.

Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.

"Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru," katanya.

Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`

Bugis Sabah

Suku kaum Bugis merupakan salah satu etnik yang terdapat di dalam kelompok ras berbilang bangsa di negeri Sabah. Kebanyakan suku kaum ini telah menetap di pantai Timur Sabah iaitu di daerah Tawau, Semporna, Kunak dan Lahad Datu.
Dari aspek sosial, suku kaum ini lebih terkenal dengan kerabat pangkat diraja (keturunan dara), mementingkan soal status individu dan persaudaraan sesama keluarga. Dari segi perkahwinan,suku kaum ini lebih suka menjalinkan perkahwinan dengan keluarga terdekat dan perceraian pula merupakan hubungan sosial yang amat tidak disukai oleh suku kaum ini kerana ia meruntuhkan hubungan kekeluargaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil “aksara” Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
Sejarah kedatangan suku kaum Bugis di Sabah (Tawau khususnya) berkaitan dengan sejarah penerokaan Tawau. Adalah dipercayai suku kaum ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16 lagi.
Tahun 1840 dijadikan sebagai fakta kukuh untuk menyatakan tempat permulaan penerokaan Tawau oleh suku kaum Bugis. Penempatan awal oleh suku kaum Bugis ini bermula di kawasan yang dikenali sebagai Ranggu. Ini bermakna suku kaum Bugis sudah pun menerokai kawasan Tawau dan menjadikan Ranggu sebagai salah satu destinasi untuk berulang-alik ke Indonesia menjadi pedagang dan membawa masuk pekerja buruh ke ladang-ladang milik kerajaan British ketika itu. Apapun, Ranggu diasaskan oleh nenek Penghulu K.K. Salim di Kampung Sungai Imam, Bombalai.
Kemudian seorang lagi bangsa Bugis dari kerabat diraja Bone bernama Petta Senong menetap di Sungai Imam, Bombalai. Usaha mereka ketika itu adalah sebagai orang upahan kepada Kerajaan Sulu untuk menghapuskan sebanyak mungkin lanun-lanun yang bergerak di perairan Laut Sulu, Borneo.
Kemudian, beberapa kawasan baru terus diterokai oleh suku kaum Bugis dan kawasan yang termasuk dalam tapak pembangunan Bandar Tawau. Antara suku kaum Bugis yang terlibat dalam penerokaan bandar Tawau ialah Puang Ado, Daeng Mappata, Wak Neke, Wak Gempe dan Haji Osman.
Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :
- “…aja mumaelo’ nabetta taue makkalla ricappa’na lete’ngnge”.
Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki ).
- “…naia riasengage’ to warrani maperengnge narekko moloio roppo-roppo ri laommu, rewekko paimeng sappa laleng molai”
Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.

Manusia Bugis

Manusia Bugis dikenal sebagai petani, perantau, dan pedagang. Di kampung halaman, mereka dikenal sebagai ahli pertanian dan di negeri rantau mereka dikenal sabagai 'Saudagar Bugis'. Bertani, berlayar, merantau, dan berdagang merupakan tradisi orang Bugis yang telah diwarisi turun temurun. Mereka pergi berlayar merantau dengan menggunakan perahu buatan mereka sendiri atau memanfaatkan sarana pelayaran yang ada, kemudian menetap di suatu daerah dan mencari nafkah dengan berdagang.
Di negeri rantau ini, mereka bersentuhan dengan berbagai budaya dan tradisi setempat lalu beradaptasi dengan tradisi mereka. Meskipun manusia Bugis kuat memegang tradisinya, namun mereka tidak berusaha menularkan tradisinya kepada penduduk setempat. Malahan mereka bersikap luwes dan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi sosial setempat.
Orang Bugis juga dikenal pintar dan berani, di Sumatera misalnya, Opu Daeng Parani, seorang perantau Bugis, dengan kepintaran dan keberaniannya ia berhasil mengusir Raja Kecik dari Minang yang menduduki tahta Sultan Riau, kemudian ia mendudukkan kembali Sultan Riau pada tahtanya. Demikian juga halnya dengan Syekh Yusuf, seorang perantau Bugis-Makassar, ketika tiba di Afrika Selatan memanfaatkan kepintarannya untuk mengajarkan agama Islam. Dengan kepintaran dan keberniannya ia mengerakkan rakyat memberontak untuk membebaskan diri dari penjajahan kolonial di Afrika Selatan.

Dalam hal pemerintahan, manusia Bugis memegang prinsip-prinsip kerakyatan. Tahta raja tidak otomatis diwarisi oleh puteranya secara turun temurun. Seorang raja dipilih oleh rakyat melalui perwakilan yang disebut 'dewan adat'.
Karakter yang lain, adalah orang Bugis sangat kuat menyimpan tradisi. Semua kearifan tradisi masa lampau diabadikan dalam 'lontaraq' , naskah kuno yang ditulis dengan huruf dan bahasa Bugis. Dalam pandangan manusia Bugis, yang disebut 'manusia' adalah mereka yang memiliki 'siri na pacce', yang berarti memiliki 'rasa malu dan martabat'. Kapan dan dimanapun, manusia Bugis tidak boleh kehilangan 'siri na pacce'..

Manusia Bugis

“Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …” 
Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.

Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.

Terlepas orang Bugis “kembali” atau tidak, Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau sampai detik tulisan ini dibuat. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.

Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.

Buku setebal 500 halaman ini merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.

Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan: “…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).

Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil kasus orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, yaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.

Alasan di atas berlanjut: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.

Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, hitung-hitung dia bisa berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?

Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kesehariannya, misalnya sebagai isteri/suami, teman sekantor, rekan bisnis, dan sahabat juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.

Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis identik sebagai orang di Nusantara yang kuat identitas keislamannya.
 
SEMOGA PADA MADECENG