SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Kamis, 30 Desember 2010

Makna Pemmali Dalam Budaya Bugis

Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.
Bentuk-bentuk Pemmali
Pemmali dalam masyarakat Bugis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.
1. Pemmali Bentuk Perkataan
Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buaja â˜buayaâ dapat mengakibatkan Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.
Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.
2. Pemmali Bentuk Perbuatan atau Tindakan
Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.

Beberapa contoh pemmali dan maknanya:
(1) Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko mannasui (Pantangan bagi seorang gadis menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan).
Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.
(2) Deq nawedding anaq daraE matinro lettu tengga esso nasabaq labewi dalleqna (Gadis tidak boleh tidur sampai tengah hari sebab rezeki akan berlalu).
Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.
Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.
(3) Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata
(Pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan).
Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.
(4) Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai (Pantangan bertopang dagu sebab akan sial).
Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan. Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.
(5) Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna (Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya akan cepat meninggal).
Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga ketika besar ia tidak memalukan keluarga.
(6) Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri (Pemali bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu).
Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.
Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya, makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan penyakit.
(7) Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq (Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).
Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.
Berdasarkan beberapa contoh yang dipaparkan di atas, pemmali dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian, yaitu menurut jenis kelamin, usia, atau bidang kegiatan. Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat dengan muatan pendidikan. Pemmali umumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan.
Kepustakaan
Suriana. Makna Pemmali dalam Masyarakat Bugis Soppeng.

Sejarah Suku Bugis

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal sulawesi selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadat, sehingga pendatangmelayu dan minangkabau yang merantau ke sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di kerajaan gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.Berdasarkan sensus penduduk indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti sulawesi tenggara, sulawesi tengah, papua, kalimantan timur, dan kalimantan selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku melayu deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, kabupaten wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

perkembangannya....>>
kumuniti bugis ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.Antara kerajaan bugis yang telah wujud ialah kerajaan bone,wajo,soppeng,suppa,sawitto,sindereng,rappang.Walaupun ianya tersebar dan membentuk suku bugis,tapi pertalian darah makasar dan mandar wujud di sebabkan dengan pernikahan .Antara dareah peralihan bugis dan makasar ialah bulukumba,sinjai,maros,pangkajennenk kepulauan.Manakala,bugis dengan mandar pula,adalah polmas dan pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang di anggap tertua bersama kerajaan cina,mario dan siang.

Kerajaan Bone

Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat

Kerajaan Makassar

Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa) kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).

Kerajaan Soppeng

Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

Kerajaan Wajo

Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga meleburnya Wajo pada pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia @arm

Konflik antar Kerajaan

Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe".

Penyebab Merantau

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.


Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia

Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Makassar.

Akulturasi Haji Masyarakat Bugis Makassar

Dalam kultur sebahagian masyarakat Bugis-Makassar atau Nusantara, gelar haji yang diperoleh setelah menunaikan ibadah haji itu dianggap sebagai sebuah gelar prestise yang menunjukkan status sosial di masyarakat yang ‘lebih’ dibanding yang lain. Status sosial ini tidak saja karena tuntutan para alumnus ibadah haji, tapi dielaborasi justru karena adanya penghargaan yang disematkan oleh masyarakatnya.

Penghargaan ini terlebih dikarenakan untuk menunaikan ibadah haji itu perlu pengorbanan yang besar; waktu, harta dan kadang nyawa. Apalagi di jaman dulu sebelum transportasi semudah jaman sekarang, menunaikan ibadah haji teramat sulit dan lama. Memerlukan ketahanan dan kesabaran untuk mengarungi lautan luas dan ganas selama 3-6 bulan untuk sampai ke sana. Kalau sekarang, hanya 8-10 jam saja naik pesawat terbang sudah cukup memindahkan badan dari tanah air ke tanah suci sana.

Selepas berhaji di tanah suci, dalam kultur bugis/makassar ada semacam ritual wisuda yang dinamakan ‘mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok/kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh syekh atau ulama yang disegani. Di jaman dulu, orang Bugis-Makassar yang belum menunaikan ibadah haji, akan malu dan segan mengenakan songkok putih karena masyarakat tahu dan akan mencibir kalau pada kenyataannya yang bersangkutan belum pernah naik haji. Orang ini akan dikatakan sebagai haji palsu, atau diolok-olok dalam bahasa bugis sebagai haji tallattu’. Sebaliknya, orang yang sudah pernah naik haji terkadang tidak mau melepas songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, agar supaya identitas ke-hajinya tetap melekat. Untuk yang perempuan, biasanya disimbolkan dengan kerudung kepala yang dipuntir mengelilingi tepi rambut dan dipasangi manik-manik atau hiasan berwarna emas atau perak.

Orang yang sudah berhaji, biasanya akan mendapat tambahan gelar haji di depan namanya, dan dengan demikian akan mendapat panggilan atau sapaan ‘haji’ atau ‘hajjah’ menggantikan atau menambahkan nama yang bersangkutan. Misalnya Haji Andi Sultan Daeng Raja, untuk menyebut salah satu pahlawan nasional berdarah Bugis yang pernah melaksakan ibadah Haji. Ada aturan tidak tertulis, bahwa sangat tidak sopan apabila menuliskan nama seseorang yang sudah berhaji tanpa menyebut gelar haji itu seperti dalam undangan. Kelupaan menulis gelar haji, bisa berakibat fatal; yang bersangkutan akan merasa tidak dihargai (ifaleppei siri’na) dan akan merenggangkan hubungan sosial diantara keduanya.

Uniknya juga, dalam prosesi lamaran pernikahan dalam budaya bugis makassar, faktor ke-haji-an kerap menjadi penentu dalam menetapkan uang panaik atau dui’menre’ atau uang mahar bagi mempelai perempuan. Calon pengantin perempuan yang sudah bergelar ‘hajjah’ sudah barang tentu mahar atau uang naiknya akan jauh lebih mahal dibanding yang belum hajjah. Besaran ‘perbedaan’ uang panaik/dui menre atau maharini kadang dihitung berdasarkan tarif resmi ONH yang diberlakukan pemerintah. Sebaliknya, adalah suatu kebanggaan buat mempelai perempuan, apabila calon penganten laki-lakinya suda bergelar haji dan dengan demikian, bisa menjadi nilai tambah dalam menentukan diterima atau tidaknya lamaran yang bersangkutan. Akan berat perjuangan seorang laki-laki yang belum haji yang hendak meminang seorang hajjah, kecuali si laki-laki mengkompensasi nya dengan uang panaik yang tidak sedikit.

Menurut Fuad Rumi, seorang ulama dan cendekiawan Makassar, kehajian terakulturasi ke dalam budaya kita untuk memberi simbol status bagi seseorang. Menjadi haji, adalah sebuah kehormatan, dan kehormatan itu disimbolkan dengan gelar dan pakaian.

Animo untuk naik haji bagi Masyarakat Bugis-Makassar ini cukup besar, sehingga walaupun terhalang oleh sistem pembatasan jamaah haji atau quota yang diberlakukan pemerintah, tetap saja banyak jalan yang ditempuh. Diantara jalan itu adalah dengan bertebaran ke propinsi-propinsi lain yang masih membuka pendaftaran. Kemudahan pembuatan KTP dan pengurusan berkas menjadi celah lebar yang memungkinkan proses diaspora jamaah asal Bugis Makassar ini. Sehingga tidak heran, sebuah koran Nasional pernah memberitakan petugas haji di Magelang sempat kelabakan mengurus dan menghadapi 116 calon jamaah haji yang hanya bisa berbahasa Bugis saja!

Jejak Bugis di Pulau Dewata

Suryadin Laoddang
Photo : Suryadin Laoddang
Orang Bugis mudah ditemui di mana-mana.Mereka membentuk kampung di pesisir pantai, juga menjadi roda penggerak sentra ekonomi di berbagai daerah. Citizen reporter Suryadin Laoddang mengajak kita menelusuri Kampung Bugis di Bali. Di sana ada tradisi ngejot, yang menjadi ujung tombak upaya hidup rukun di tengah masyarakat Pulau Dewata. (p!)
Begitu melihat papan penunjuk arah ke Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Denpasar, spontan saya berteriak “Kanan – Kanan”. Sayang, moncong mobil sudah terlalu masuk ke arah selatan, hingga Mas Joko, sang pengemudi, tetap memajukan kendaraannya, tentu untuk mencari lokasi memutar kendaraan kami.
Di sinilah berkah tak terduga tersebut muncul. Di sisi kanan jalan, sebuah papan nama dengan tulisan aksara Lontara Bugis menarik perhatian saya. Seketika saya meminta Mas Joko untuk berhenti, kamera saku langsung saya ambil dari dashboard mobil. Obyek ini tidak boleh saya lewatkan!
Meski tidak sempat menginjakkan kaki di Kampung Bugis, beruntunglah saya memiliki seorang sahabat Aang Ardiansyah, yang juga merupakan Direktur Utama PT Salba Rahim, agen dari Iwata Tours and Travel. Dari kawan inilah saya mendapatkan beberapa catatan perihal masuknya orang Bugis di Bali.
Menurut catatannya, Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang melarang warga Bugis memiliki kapal berukuran besar, menjadi pemicu banyaknya orang Bugis yang merantau ke Pulau Serangan. Perantau yang datang ke Serangan itu umumnya berasal dari Bugis Wajo, dan ada pula dari Soppeng atau Bone. Pulau Serangan sendiri adalah sebuah pulau kecil yang terpisah dengan daratan Pulau Bali, berjarak sekitar 17 Km arah selatan kota Denpasar. Tahun 1995 dibangunlah sebuah dermaga kecil dan jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini.
Karena banyak dihuni oleh perantau Bugis yang kebanyakan beragama Islam, maka pulau ini kemudian dikenal sebagai Kampung Islam Bugis. Konon, kampung ini hanya dibangun 40 orang perantau Bugis yang dipimpin Syeikh Haji Mu’min akibat tak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongayya.
Awal keberadaan mereka di sana justru dicurigai oleh pihak Kerajaan Badung Bali sebagai mata-mata Belanda. Kecurigaan yang wajar tentunya. Selama ditawan, rombongan ini menunjukkan sikap kebencian mereka terhadap Belanda dan mampu meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III. Akhirnya, rombongan itu diberi kebebasan tinggal di istana untuk sementara waktu, kemudian mendiami kampung Gelagi Gendong, sebelah barat kerajaan.
Kebiasaan melaut para perantau Bugis itu membuat mereka tak betah menetap di tengah daratan, atas persetujuan Raja Badung yang mengetahui sepenuhnya bahwa perantau Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran, maka mereka diberi tempat di Pulau Serangan yang waktu itu masih berupa hutan.
Haji Mu’min dan pengikutnya membuka pemukiman di bagian selatan Pulau Serangan. Hubungan itu terus terjalin dengan baik dan dikatakan pada waktu Kerajaan Badung merasa terdesak menghadapi Kerajaan Mengwi, satu kerajaan lain di sisi barat kota Denpasar, Raja Badung tidak segan-segan minta bantuan para perantau dari Bugis itu untuk membantu.
Fakta lain mencatat Tahun 1919, C. Lekkerkerker, dalam Bukunya BALI EN LOMBOK, OVERZICHT DER LITERATUUR OMTRENT DEZE EILANDEN TOT EINDE, menyebutkan tahun 1849 (161 tahun lalu) salah satu kerajaan Bali di Jembrana tepatnya di Loloan dipimpin oleh seorang putra Bugis yang gagah berani bernama Anakoda Pattimi. Buku ini disusun berdasarkan pada sebuah Lontar Sejarah Bali.
Kampung seluas 2,5 hektar ini dihuni oleh sekitar 280 warga muslim dan mereka dikeliling perkampungan Hindu, dengan sejumlah pura. Kendati demikian, warga di sini hidup rukun dan dapat menjalankan ibadah maupun aktivitas sehari-hari sebagai nelayan. Aang menambahkan, kampung ini memiliki tradisi unik yang disebut Ngejot, yakni membawa jajanan atau makanan kepada tetangga non-muslim atau sebaliknya.
Adapula tradisi membaca Diba, catatan sejarah kekerabatan Bugis dan Bali setiap selesai shalat Id di Hari Raya Idul Fitri. Tradisi inilah yang memperkuat kerukunan hidup beragama. Dan hingga kini, tradisi tersebut masih dipelihara. Selain pura, di kampung ini terdapat pula Masjid AS-Suhada merupakan saksi sejarah dari perkampungan Islam Bugis di Pulau Serangan. Masjid ini diperkirakan didirikan pada abad ke-17 masehi.
Menurut Andi Udin Sanrasi - Sekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Bali, hubungan emosional Bugis dan Bali juga ditandai dengan pertalian darah antara Putra Raja Bugis Mamuju yang menikah dengan Putri Raja Badung Bali sehingga lahir Raja Mamuju yang bernama La Salaga Mara’dia ri Mamuju yang hidup pada Abad XVI, bukti otentiknya dapat dilihat di Kerajaan Bugis Mamuju berupa keris Badong peninggalan dari Bali serta kuburan Bali di atas Bukit Kampung Timbu, berjarak 5 Km dari Kota Mamuju, dan pada hari-hari tertentu masyarakat Bali di sekitar Sulawesi Barat melakukan ritual dan persembahyangan di Bukit tersebut.
Akulturasi budaya Bugis tidak hanya terjadi dengan masyarakat lokal, melainkan juga dengan sesama pendatang lainnya. Haji Zainal Tayeb Ketua Umum KKSS Bali menuturkan, di jajaran kepengurusan KKSS Bali ketua Departemen Pariwisata, Ekonomi dan Hubungan Luar Negeri bernama Barry J. Smith adalah seorang berketurunan Australia yang mempersunting gadis dari Sulawesi Selatan bernama Nimmy Ibrahim yang pernah aktif di Sanggar Seni Budaya Batara Gowa Makassar.
Barry J. Smith kemudian menjadi muallaf dengan tambahan nama Ibrahim dan diberi gelar kehormatan Daeng Naba, kini nama lengkapnya adalah Barry J Smith Ibrahim Daeng Naba.
Cerita mengharukan juga datang dari Nicole (30) gadis asal Swiss, yang sengaja datang ke Bali untuk mencari ayahnya Ahmad Ramadhan, seorang Pria Bugis yang menikahi Ibunya pada tahun 1970-an. Sayang, tidak ada yang mampu menunjukkan keberadaan ayah Nicole.
Tanda-tanda pertemuan saya dengan komunitas Bugis di Bali sudah muncul jauh sebelumnya. Enam puluh kilometer sebelum memasuki kota Denpasar, di daerah Sempidi di sisi selatan jalan berdiri sebuah kantor Biro Hukum bertuliskan Ambo Enre, SH, nama yang kemudian saya tahu adalah Koordinator Departemen Publikasi dan Dokumentasi KKSS Bali. Begitu pula dengan perkenalan saya dengan Daeng Rivai di Yogyakarta, alumnus Teknik Perikanan Politeknik Unhas yang sukses membuka tambak ikan dan udang di Grokgak, Singaraja Bali.
Dalam catatan yang dilansir www.kkssbali.com, selain di Serangan, Kampung Bugis juga dapat ditemui di Suwung dan Kepaon Denpasar, juga di Kabupaten Badung, orang-orang Bugis ditemui di daerah Tuban, Tanjung Benoa dan Angantiga Petang.
Sementara di Kabupaten Tabanan, Kampung Bugis bisa ditemui di pesisir Pantai Soka, di Kabupaten Buleleng mereka dapat ditemui di Sumber Kima, Lovina, Grokgak, Singaraja, Celuk Bawang dan Seririt. Di Kabupaten Jembarana juga dapat ditemui di Loloan, Cupel, dan Yeh Sumbul, adapula dipesisir Ujung dan Buitan Karangasem.
Kerukunan Umat Islam di Bali dengan Umat Hindu menjadi bukti, perbedaan agama dan suku bukanlah alasan untuk saling menghindari dan berselisih paham.

Dapur Orang Bugis ~ Makassar

Jika Anda melihat rumah tradisional orang Bugis-Makassar, pasti mudah bagi Anda untuk mengenali bentuk rumahnya. Ciri utama rumah Bugis-Makassar adalah bentuk rumah tiang atau rumah panggung. Rumah panggung masyarakat Bugis Makassar dapat ditelusuri pembagian ruang-ruangnya, yang terbagi dalam tiga tingkatan ruang, yakni ruang atas, ruang tengah dan ruang bawah.

Eksistensi Dapur

Istilah dapur (tradisioal) disini mencakup pengertian dapur sebagai ruang /bangunan, tempat menyimpan peralatan masak dan tempat berlangsungnya kegiatan makan minum. Eksistensi dapur ini timbul bersamaan dengan diketemukannya api oleh manusia.

Dapur bagi orang Bugis-Makassar sangat dekat dengan proses dan eksistensi keluarga. Keluarga yang masih “hidup” dapat ditengarai dengan dapur yang masih berasap. Sebaliknya sebuah dapur yang sudah tidak berasap lagi menandakan bahwa keluarga pemilik dapur sudah mati.

Dapur tradisional Bugis-Makasar pada umumnya berbentuk segi empat, mengikuti filsafat orang Sulawesi Selatan yang disebut “Sulapa Eppa” yang artinya “Yang dianggap paling sempurna adalah yang bersegi empat”. Bentuk formasi bangunan untuk perletakan tungku ada yang terbuat dari kayu dan ada pula yang diletakkan di atas lantai rumah secara berdampingan.

Bangunan dapur tradisional Bugis-Makasar ada yang bertingkat dua. Lantai atas digunakan untuk tempat menyimpan dan mengeringkan kayu bakar atau menyimpan peralatan dapur. Lantai bawah digunakan untuk memasak. Tungku masak yang digunakan kebanyakan masih menggunakan tiga batu yang diatur di atas lantai yang sudah diberi pasir atau tanah. Dalam satu dapur bisa berderet dua sampai tiga buah tungku. Bila masih memerlukan tungku lagi, dibuatlah tungku yang terpisah dengan dapur yang disebut dapo (Bugis) atau palu (Makasar) yang mudah dipindah-pindahkan.

Di beberapa daerah di Sulawesi bagian Selatan, palu yang mempunyai bentuk seperti perahu dengan tiga tatakan sangat dominan dipakai. Sedangkan untuk wilayah utara cukup bervariasi, diantaranya: formasi tiga batu, bentuk silinder, dua besi panjang sejajar, dan lain sebagainya.

Dalam perkembangan selanjutnya, dapur tersebut bergeser ke ruang belakang dan dibuatkan bangunan tambahan khusus di bagian belakang atau bagian sebelah kiri bangunan induk. Bangunan khusus untuk dapur ini disebut Jongke atau Bola dapureng. Jongke ini merupakan tempat pelaksanaan kegiatan penyediaan makanan dan minuman keluarga atau tamu, serta tempat untuk menyimpan makanan dan peralatan masak.

Dapur orang Bugis-Makasar [sesuai dengan pengetahuan lokal para nenek moyang mereka] diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika dapur menghadap utara maka orang yang memasak akan menghadap ke Selatan, begitu pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari asap dapur yang sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat atau timur. Hal ini masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap keadaan lingkungan sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal lain yang kurang diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi udara di dapur tidak sehat.

Peralatan Memasak

Pada umumnya peralatan dapur tradisional orang Bugis-Makasar dapat diklasifikasikan menurut jenis material peralatan tersebut :

a. Terbuat dari tanah liat: dapo/pallu (anglo), Oring tana/Uring buta (periuk), bempa/gumbang (tempayan), dll.

b. Terbuat dari logam yaitu: oring beddi/uring bassi (periuk), panci, ceret, pammutu bessi/pamja besi (wajan) piso/ lading (pisau), bangkung/ berang parang), baki.

c. Terbuat dari bambu: pabberang api (peniup api), paccipi (penjepit), pattapi (niru), rakki (tempat mengeringkan bahan makanan), jamba (tempat nasi dari anyaman bambu).

d. Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), piring kayu

e. Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng/inungang (gelas tempurung), sinru kaddaro/si’ru kaddaro (sendok tempurung), piring kaddaro.

f. Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi), appanatireng santang (tapisan santan), paberesse/pa’berassang (tempat beras)

g. Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang (cobek)

Fungsi Dapur

Fungsi dapur juga mengalami perkembangan mengikuti budaya dan masyarakat. Fungsi dapur sekarang dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Tempat untuk kegiatan penyediaan dan pengolahan makanan dan minuman untuk keluarga dan tamu. Di sini perempuan memegang otoritas penuh atas ruang dan waktu.

b. Tempat menyimpan peralatan dan persediaan makanan dan minuman.

c. Tempat cuci dan pembuangan

d. Tempat untuk sosialisasi awal bagi anak perempuan memasuki dunia perempuan serta mempererat hubungan kekerabatan dengan anggota keluarga lain atau tetangga

e. Tempat usaha: membuat kue, makanan dan minnuman.

Pandangan Terhadap Dapur

Sejalan dengan fungsi-fungsi dapur tersebut, tumbuh nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat. Misalnya, untuk menerima tamu (bukan famili), tidak melewati batas ruang tamu, apalagi masuk ruang dapur. Karena dapur merupakan rahasia keluarga/kehidupan rumah tangga, sehingga ruang dapur dibatasi hanya untuk kerabat dekat saja.

Pemanfaatan dapur sebagai salah satu bagian rumah juga membawa nilai-nilai atau norma-norma yang harus ditaati. Oleh karena itu ada beberapa perilaku yang tidak boleh dilanggar karena dapat membawa bencana bagi siapa saja yang melanggarnya.

Beberapa pantangan tersebut adalah:

a. Tidak boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku dia akan bersifat seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang yang suka menginjak dapur akan suka melanggar norma/nilai di bidang seks.

b. Anak gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan bersuamikan orang tua atau mempunyai anak tiri.

c. Pada saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam. Hal ini dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan pulang dari melaut.

d. Pada musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api dapurnya kepada dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan padinya habis dimakan ulat/tikus.

e. Laki-laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-laki.

f. Laki-laki (suami) tidak boleh memegang alat-alat masak. Hal ini menandakan suami tidak percaya kepada istrinya.

g. Tidak boleh memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok dan sebagainya, hal ini menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh.

SEJARAH BUGIS DI MALAYSIA

Salasilah Keturunan BUGIS di Malaysia


Salasilah Keturunan DAENG CHELAK
Salasilah Kesultanan Selangor
Sultan Salehuddin (Raja Lumu – 1742-1778)
Sultan Ibrahim (1778-1826)
Sultan Muhamad (1826-1857) dan kesultanan Selangor seterusnya.

Sebaik sahaja Raja Bugis menerima utusan dari Raja Sulaiman, angkatan tentera Bugis terus datang dengan 7 buah kapal perang menuju ke Riau. Raja Kechil telah ditumpaskan di Riau dan melarikan diri ke Lingga dalam tahun Hijrah 1134. Sebagai balasan, Raja Sulaiman telah bersetuju permintaan Raja Bugis dimana mereka mahukan supaya raja-raja Bugis dilantik sebagai Yamtuan Besar atau Yang Di-Pertuan Muda, bagi memerintah Johor, Riau and Lingga secara bersama jika semuanya dapat ditawan.

Setelah Bugis berjaya menawan Riau, Raja Sulaiman kemudiannya pulang ke Pahang, manakala raja Bugis pula pergi ke Selangor untuk mengumpulkan bala tentera dan senjata untuk terus menyerang Raja Kechil. Semasa peninggalan tersebut, Raja Kechil telah menawan semula Riau semasa raja Bugis masih berada di Selangor.

Setelah mendapat tahu Riau telah ditawan oleh Raja Kechil, Bugis terus kembali dengan 30 buah kapal perang untuk menebus semula Riau, semasa dalam perjalanan menuju ke Riau, mereka telah menawan Linggi (sebuah daerah di Negeri Sembilan) yang dikuasai oleh Raja Kechil. Setelah Raja Kechil mendapat tahu akan penawanan itu, baginda telah datang ke Linggi untuk menyerang balas.

Pehak Bugis telah berpecah dimana 20 buah dari kapal perangnya meneruskan perjalanan menuju ke Riau dan diketuai oleh 3 orang dari mereka. Raja Sulaiman telah datang dari Pahang dan turut serta memberi bantuan untuk menawan semula Riau. Dalam peperangan ini mereka telah berjaya menawan kembali Riau dimana kemudiannya Raja Sulaiman dan Bugis telah mendirikan kerajaan bersama.

Setelah mengetahui penawanan Riau tersebut, Raja Kechil kembali ke Siak kerana baginda juga telah gagal menawan semula Linggi dari tangan Bugis. Hingga kini Linggi telah didiami turun-temurun oleh keturunan Bugis dan bukan daerah Minangkabau.

Pada tahun 1729, Bugis sekali lagi menyerang Raja Kechil di Siak dimasa Raja Kechil ingin memindahkan alat kebesaran DiRaja Johor (Sebuah Meriam) ke Siak. Setelah mengambil semula kebesaran DiRaja tersebut, Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, and Linggi.

Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau. Kemudian adik perempuannya Tengku Tengah pula dikahwinkan dengan Daeng Parani yang mana telah mangkat di Kedah semasa menyerang Raja Kechil disana. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman Tengku Mandak dikahwinkan dengan Daeng Chelak ( 1722-1760) yang dilantik sebagai Yamtuan Muda II Riau 1730an. Kemudian anak Daeng Parani, Daeng Kemboja dilantik menjadi Yamtuan Muda III Riau (yang juga memerintah Linggi di Negeri Sembilan).

Anak Daeng Chelak, Raja Haji dilantik sebagai Yamtuan Muda IV Riau dimana baginda telah hampir dapat menawan Melaka dari tangan Belanda dalam tahun 1784 tetapi akhirnya baginda mangkat setelah ditembak dengan peluru Lela oleh Belanda di Telok Ketapang, Melaka. Baginda telah dikenali sebagai Al-Marhum Telok Ketapang.

Dalam tahun 1730an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik dengan Raja Siak mengacau ketenteraman Selangor.

Ini menjadikan Daeng Chelak datang ke Kuala Selangor dengan angkatan perang dari Riau. Daeng Mateko dapat dikalahkan kemudiannya beliau lari ke Siak. Dari semenjak itulah daeng Chelak sentiasa berulang-alik dari Riau ke Kuala Selangor. Lalu berkahwin dengan Daeng Masik Arang Pala kemudian dibawa ke Riau.

Ketika Daeng Chelak berada di Kuala Selangor penduduk Kuala Selangor memohon kepada beliau supaya terus menetap di situ sahaja. Walau bagaimana pun Daeng Chelak telah menamakan salah seorang daripada puteranya iaitu Raja Lumu datang ke Kuala Selangor. Waktu inilah datang rombongan anak buahnya dari Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau dan mangkat dalam tahun 1745.

Pakar dari Malaysia Bangga Terhadap Bangsa Bugis

Tidak dapat dipungkiri, bahwa peranan diaspora Bugis dalam sejarah politik di Kesultanan Johor Malaysia memiliki makna yang sangat strtegis. Terbukti sejak abad ke-17, bangsa Bugis sudah memainkan peran politik dalam Kesultanan Johor-Riau dan semenanjung Tanah Melayu bahkan hingga dalam negara Malaysia modern ini pun sudah dua orang perdana menteri yang berasal dari keturunan bangsa Bugis.
Demikian diungkapkan Dosen Pascasarjana Universitas Sain Malaysian (USM) Prof. Dr. Mohd Isa Othman di Auditoium Unismuh Makassar saat Seminar Internasional, Senin (29/3).
Menurutnya, Bangsa Bugis merupakan bangsa pejuang terbaik. Katanya, dalam proses perjuangannya, bangsa Bugis selalu berada posisi yang terdepan karena memiliki keberanian dan prinsipyang fundamental (ingat Prinsip Bugis, Red) yang luar biasa.
Keberanian dimaksud adalah keberanian dengan diploma dan kecerdikan, keberanian menghadapi lawan dengan keris atau badik bila diganggu dan keberanian dengan biologis dengan mengawini anak raja atau sultan sehingga menjadi bahagian dalam proses pemerintahaan tersebut.
Dalam acara seminar itu Dosen Pascasarjana USM, Dr Haji Ishak Saat, diungkap lewat dalam makalahnya berjudul Warisan Kebangsanaan Melayu Islam, menuturkan, Melayu dan Islam merupakan dua kekuatan yang tidak bisa dipisahkan karena kedua hal tersebut memiliki pertalian yang sangat erat dalam mencapai persatuan dan kesatuan.
Menurutnya, sepanjang sejarah penjajahan barat terdapat banyak tokoh Melayu-Islam muncul dalam menegakkan dakwah dan meningkatkan kegiatan keagamaan, sehingga dalam politik Melayu di Malaysia diwarnai dengan politik Islam yang memiliki akar keberagaman politik Islam-Melayu.
Pakar dari USM lainnya, Mohd Azhar Bin Bahari, mengatakan gerakan Islam di Malaysia sangat konsisten dengan issu keumatan dan sangat peduli dengan gerakan Islam dunia yang merupakan kekuatan bersama dalam peningkatan Islam sedunia.

Jumat, 24 Desember 2010

Makna Adat Pernikahan Bugis Bergeser

Makna pernikahan dengan adat Bugis dalam 30 tahun terakhir bergeser menjadi panggung yang penuh kepalsuan. Penyebabnya adalah kesalahan cara berpikir masyarakat dalam menyikapi derajat sosial dan kepemilikan harta.
Hal itu mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku Perkawinan Bugis terbitan Ininnawa di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (10/2). Buku itu ditulis Susan Bolyard Millar, peneliti dari Wisconsin Institutes for Discovery. Tampil sebagai pembicara adalah antropolog Universitas Hasanuddin, Yahya Kadir; pengamat kebudayaan dari Universitas Negeri Makassar, Aslan Abidin; dan Wahyuddin Halim dari Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar.
”Perkawinan dengan adat Bugis seolah menjadi lembaga judi dan lelang,” kata Wahyuddin.
Wahyuddin memaparkan, acap kali uang puluhan hingga ratusan juta rupiah dikeluarkan untuk membiayai prosesi perkawinan yang melibatkan beberapa hal, seperti mahar (mas kawin) dan dui’ menre (uang belanja). Tak jarang, pihak mempelai pria mengeluarkan uang untuk mengangkat status atau mangelli dara (membeli darah).
Atas nama derajat sosial, kata Wahyuddin, pernikahan bisa menjadi ajang untuk mencari pihak yang bersedia membayar mahar dan uang belanja paling tinggi. Fenomena ini terjadi hampir merata di kalangan suku Bugis.
Kondisi itu merupakan konsekuensi bergesernya pola pikir masyarakat mengenai apa yang dianggap berharga, kata Yahya. Demi pencitraan di masyarakat, sebuah pesta perkawinan bisa diselenggarakan dengan uang pinjaman.
Aslan melihat kecenderungan itu sebagai sifat berkompetisi yang menjadi karakter suku Bugis. Yang harus dilakukan sekarang adalah mengarahkan kompetisi untuk hal yang lebih penting dari kepemilikan materi. Menurut dia, budaya pesta perkawinan perlu dipertahankan karena dapat mempererat silaturahim antarkerabat.

Mengenal rumah adat khas bugis


rumahbugis_1










Ini adalah rangkain cerita yang akan aku tuliskan tentang aku dan asal – usulku, serta hal-hal lain tentang orang bugis. Tulisan kedua ini, akan mengangkat rumah khas bugis, yaitu rumah panggung.
Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( sumatera dan kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego.
Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian – bagiannya utamanya :
  1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
  2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
  3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggal di kampung, seperti diriku ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi. Mengapa saya suka ? karena saya orang bugis… hehehe.. . Sebenarnya bukan karena itu, tetapi lebih kepada faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas.. Wong rumahnya tinggi, hehehe
Bagian – bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
  1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit – langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
  2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
  3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.. simple kan. 
Ok, itu saja dulu. Sampai jumpa pada tulisan berikutnya.

Rabu, 22 Desember 2010

Makanan Khas Bugis

  Nasu Likku





 Burasa




Pisang Ijo


 Brongko



          Sawa                                   





Palabusa Ayam



Kue Lupis                                                                      


                                                                 Sanggara Peppe
                                        


                                                                        Bolu Cukke           


                                                                        
                                                                        Tripang


   
                                                                          Onde-Onde



  
                                                                 Bale pengkang Tunu
                                             



                                                                    Bandang-bandang




                                                                          Kacipo   




                                                               Baje Canggoreng
                                                  


                                                               Sokko Na Palopo

SIRI’ DAN PENGARUHNYA DALAM MASYARAKAT

                                                        
A. Pengertian Siri’
Istilah (terminologi) siri’ dapat didekati dari sudut makna menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural.
1. Makna Menurut Bahasa
Secara harfiah kata siri’ sistem adat 1 di Sulawesi Selatan sepanjang pembacaan kita pada naskah-naskah lontara, sedikitnya memiliki dua makna fundamental yaitu malu dan harga diri. Seorang pemalu dinamakan tau pasiri’-siri’seng (bahasa Bugis) atau tau passiriang (bahasa Makassar) atau tau passiriang (bahasa Mandar).
Istilah siri’-siri’ bungkeng yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena dijemur dibawah terik sinar matahari. Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.2
Salah seorang pakar hukum adat Belanda BF. Matthes mengemukakan makna siri’ , sebagai berikut : 1. Beschanmmd, 2. Schoomvalling, 3. Verlegen, 4. Schaamte, 5. Eergevel, dan 6. Schande. 3
Dalam pada itu pula laside (seorang budayawan) sebagaimana yang dikutip Laica dalam bukunya menerangkan bahwa siri’ dapat pula dikonotasikan sebagai sikap segan serta takut. Diberinya contoh ungkapan sebagai berikut :
a. Masiri’ka mewaki situdangang, nasaba engka onrotta (bahasa Bugis), artinya takut aku duduk bersama tuan, karena tuan memiliki kedudukan terpandang.
b. De’ga mumasiri’ri nabitta, nade muturusiwi penggajaranna, artinya tidakkah engkau takut kepada Nabi kita sehingga tidak mematuhi ajarannya.4
2. Makna Kultural
Makna kultural kata siri’ berkaitan dengan hal yang menyangkut kahidupan budaya masyarakat suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Suku-suku yang terdapat dalam lingkungan Sulawesi Selatan lebih menghayati makna kultural kata siri’ tidak dapat dipisahkan dengan kondisi kulturalnya. Dikatakan, bagi masyarakat Bugis secara umum pengertian kultural itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena apabila ia menyebut perkataan siri’ , maka esensi siri’ adalah dirinya sendiri.5
Kamus Besar Bahasa Indonesia disumuskan entri kata siri’ dengan huruf akhir (k). tampa pembubuhan glottal stop (’) menurut makna kultural, sebagai berikut : Siri’ adalah sistem nilai sosio-kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.6
Rumusan kultural yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut mengikuti defininisi (batasan) kata siri’ yang di tetapkan dalam Seminar masalah siri’ di Sulawesi Selatan yang berlangsung di Makassar pada bulan Juli 1977.
Namun dalam Kamus Bahasa Indonesia penerbitan berikutnya terdapat penambahan kata masyarakat Bugis pada perumusan entri kata sirik, sehingga rumusan kata siri’ dinyatakan sebagai berikut :
Aturan sistem nilai sosio-Kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat pada masyarakat Bugis.
Penambahan kata masyarakat Bugis pada rumusan kata siri’ dapat menimbulkan kesalahpahaman, seakan-akan konsep budaya siri’ hanya terdapat di kalangan masyarakat Bugis. Siri’, selain terdapat pada masyarakat Bugis dan Makassar juga dikenal dalam konteks masyarakat Mandar dan Toraja.8
Makna kultural kata siri’ baru dapat dihayati secara komprehensif manakal diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan.
Kata siri’ tidak dengan tegas disebutkan dalam Surek Sulleang I Lagaligo 9 namun terdapat kata siriatakka dalam manuskrip sastra Bugis 10 kenamaan tersebut, yakni nama dua jenis tanaman yang dipandang merupakan perlambang (sennureng) terhadap kata siri’. B.F. Matthes (1874) berpendapat bahwa nama tanaman yang dilambangkan sebagai bali atakka sebagai bahasa Tobakke, yang digunakan mereka sebagai “omtezinspelen op siri, zich schamen, zijn eerkwijt zijn, enz, dewijl desiri-heester en de atakka-boom inde oudegedichten doorganstegelijk vermeld worden,zooddat de siri-huster als’t ware de neven-man van de attaka is.11 Nama tanaman siri atau sirih mempunyai kesamaan fonem dengan kata siri’. Penulisan kedua kata dimaksud adalah sama pula , yakni : 12
Salahuddin menggarisbawahi penyebutan nama tanaman siri atakka itu pada bagian episode Reulokna Batara Guru dalam Surek Selleang I Lagaligo. Dituturkan bahwa Datu Patoto To Palanroe, Dewata pencipta langit, yang bernama La Patiganna Ajik Sangkure Wira menghendaki salah seorang putranya turun ke bumi (alekawa) guna memimpin apa yang diistilakan sebagai “dunia tengah” itu. Setelah dimusyawarahkan pilihan jatuh kepada putra sulungnya yang bernama La Togelangi bergelar Batara Guru. Ketika melepas anaknya. Datuk Patoto berpesan kepadanya agar apabila ia turun ke bumi maka “…tiwiko ritu siri’ atakka narekko mattengnga lalenno nonro rilino … muadan-keng siri’ atakka ri ataunnu … ianatu matu mancaji alek ( bawalah sirih atakka … manakala engkau tengah dalam perjalanan menuruni bumi … susurkan siriatakka di bagian kananmu … itulah kelak menjadi hutan).13
Menurut Salahuddin, kata alek (hutan) di sini bermakna pelindung bagi kehidupan.14
Kalau kita mencari relevansi etimologi siri’ ke dalam Islam maka akan ditemukan sebuah istilah seperti haya’ dan ghirah (malu dan harga diri). Dua sifat yang tidak hanya sangat dijunjung tinggi dalam tradisi Islam akan tetapi juga diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang Muslim. Sehingga sering kali ditegaskan bahwa konsep siri’ dalam tradisi adat Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan mereka yang bersifat Islami.
Seperti telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya bahwa di Sulawesi Selatan telah pernah diadakan seminar masalah siri’ yakni tepatnya pada tanggal 11 sampai 13 Juli1977, diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KODAK) XVIII Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan bekerja sama Universitas Hasanuddin. Seminar diadakan di Makassar (Ujung Pandang) serta diikuti antara lain oleh para aparat pemerintahan, cendekiawan, tokoh-tokoh masyarakat dan wakil pelbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. 15
Pada seminar nasional ini, telah dibicarakan dan dibahas bersama konsep siri’ dari sudut pandang pelbagai buday suku bangsa di Sulawesi Selatan serta perkaitannya terhadap pembangunan nasional, dengan menampilkan sejumlah makalah berkenaan dengan siri’.
Seminar ini pula meletakkan batasan umum bagi pengertian siri’ sebagai berikut :
a. Siri’ dalam sistem budaya, adalah pranata pertahanan harga diri kesusilaan dan hkum serta agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran dan perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktural dalam kebudayaan.
b. Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial, terbuka untuk beralih peran (bertransmisi), beralih bentuk (bertransformasi), dan dapat ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya falsafah bangsa Indonesia, Pancasila.
c. Siri’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan kongkrit di dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.16
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Siri’
Terdapat pandangan yang memandang siri’ sebagai pancangan nilai dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan Bagi pakar budaya misalnya A. Rahman Rahim yang mengemukakan bahwa siri’ adalah sala satu nilai utama kebudayaan masyarakat. Beliau juga kemudian mengklarifikasi nilai itu kedalam dua golongan besar yaitu nilai primer yang dibahasakan sebagai nilai utama dan nilai sekunder yang diasumsikan sebagai nilai yang tidak utama. Rahman Rahim mengacu pada pendapat SH. Alatas yang menyatakan bahwa nilai yang tidak berubah adalah nilai yang mengandung kemutlakan, yakni sifat tertentu yang harus melekat pada nilai utama. Kata mutlak di sini yang melekat pada pengertian nilai utama ditandainya dengan hal berlakunya suatu kebenaran yang tidak di batasi oleh faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi sesuatu sifat yang dianggap benar atau baik menurut waktu dan tempat. Nilai yang tidak utama bersifat nisbi (relatif) yang dibatasi oleh waktu dan tempat.17
A. Rahman Rahim selanjutnya mengemukakan enem nilai utama kebudayaan masyarakat sulawesi selatan yakni apa yang dalam tradisi masyarakat bugis dikenal dengan lempu’ (kejujuran), ammacang atau acca (kecendekiawanan), asitenajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (keuletan) serta siri18. Dikatakan bahwa masalah siri’ selalu menerik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan khas sulawesi Selatan karena konsep siri’ selalu dihayati oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ade’ serta sistim Pengadereng19. Seseorang yang tidak memeliki siri’ adalah lepas dari konteks moralitas ade’ serta kesepakatan adat. Orang yang telanjang dari perasaan malu atau siri’ akan memberikan ruang gerak yang luas bagi lahirnya tindakan-tindakan anarkis dan tidak bertanggung jawab dalam hal ini di dala lontara orang ini dapat disejajarkan dengan binatang. Konsep ini tentunya seirama dengan Islam tentang kesetaraan manusia dengan binatang ketika mereka bertindak melampaui batas.20
CH. Salam Basjah dan Sdappernas Mustaring sebagaimana yang dikutip Mattulada dalam Latoa Memberikan tiga penggolongan terhadap siri’ yaitu :
a. Siri’ itu sama artinya dengan malu, isin (jawa), shame (inggris);
b. Siri’ merupakn daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau apa saja yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukum menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan.
c. Siri’ itu sebagai daya pendorong yang bisa juga ditujukan ke arah pembangkit tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa siri’ merupakan pembalasan yang berimplikasi kewajiban moril untuk membunuh pihak pelanggar adat. Demikian pula M.Natsir Said, menempatkan batasan bahwa siri’ itu adalah perasaan malu (kreking/beledeging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilangggar norma adatnya.22
Dapat ditarik sebuah benang merah bahwa untuk mendekati batasan siri’ itu tidak mungkin orang hanya memandang satu aspeknya saja atau hanya memperhatikan perwujudannya saja. Hal ini mudah dimengerti karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat kongkritnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mengobservasi orang-orang bugis yang cepat merasa tersinggung, lekas menggunakan kekerasan dan balas dendam dengan pembunuhan. Hal ini memang banyak terjadi terutama dalam hal perjodohan , yaitu salah satu pranata sosial atau salah satu aspek dalam pangngadereng yang masih dapat bertahan, dibanding dengan unsur-unsur lainnya walaupun sekarang dari hari ke hari telah mengalami banyak perubahan. Namun demikian siri’ masih mempunyai arti yang esensial untuk dipahami, karena terdapatnya anggapan bahwa orang Sulawesi Selatan pada umumnya ia masih merupakan sesuatu yang melekat kepada martabat kehadirannya sebagai suatu pribadi dan sebagai warga dari suatu persekutuan. Masyarakat Sulawesi Selatan menghayati siri’ itu sebagai suatu panggilan yang dalam dari diri pribadinya, untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya mempunyai arti esensial baik bagi diri maupun bagi persekutuannya.
Berbagai ungkapan dalam bahasa khas Bugis (Sulawesi Selatan) yang mengambil wujud dalam kesusastraan, pesan amanah-amanah dari leluhurnya yang dapat dijadikan petunjuk tentang siri’ itu pada masyarakat Sulawsi Selatan.
a. Siri’e mi ri onroang ri lino. Artinya hanya siri’ itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini, termaktub arti siri’ sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri hidup ada artinya.
b. Mate ri siri’ na. Artinya mati dalam siri’ yakni mati demi menegakkan martabat atau harga diri. Mati yang demikian dianggap sebagai suatu hal yang terpuji dan terhormat.
c. Mate siri’. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tidak lebih dari bagkai hidup. Orang Sulawesi Selatan yang merasa mati siri’ akan melakukan jallo’ (amuk), hingga ia mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebut napattatongi siri’na artinya ditegakkan kembali harga dirinya. Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh dengan jallo’ dengan latar belakang siri’. Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam kategori tersebut yang merasakan siri’ yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah permpuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakekatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompk masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.23
Masalah siri’ seperti banyak dipahami masyarakat mempunyai banyak segi-segi, sehingga ada kalanya ia di beri isi dan tanggapan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, sesuatu yang sangat emosional seperti di tafsirkan oleh banyak orang yang menyamakannya dengan perasaan malu dan kebanyakan lagi di identikkan dengan masalah pelanggaran adat perkawinan misalnya kawin lari atau semacamnya. Hakekat siri’ hendaknya dilihat dari segi aspek nilai dari pangngedereng sebagai wujud kebudayaan yang menyangkut martabat dan harga diri manusia dalam lingkungan hidup kemasyarakatan. Nilai-nilai pangngedereng yang amat dijunjung tinggi masyarakat Sulawesi Selatan yang dapat membawa kepada peristiwa siri’ yang tersimpul pada hal-hal tersebut dibawah ini :
a Sangat memuliakan hal-hal yang menyangkut kepercayaan (keagamaan)
b Sangat setia memegang amanah (paseng) atau janji (ulu-ade’) yang telah di buatnya
c Sangat setia kepada Persahabatan
d Sangat mudah melibatkan diri pada persoalan orang lain (memiliki kepedulian sosial terhadap sesame.
e Sangat memelihara akan ketertiban adat kawin-mawin (wari).24
Lima elemen tersebut disaring dari lima aspek pangngedereng yaitu ade’, bicara rapang, wari” dan sara’. Itulah yang paling banyak menimbulkan ekses-ekses berupa pembunuhan, jallo’, pemberontakan, pembangkangan dan meninggalkan negerinya dengan dimotori oleh semangat siri’.
Jadi adalah lumrah apabila jallo’, pembunuhan, pemberontakan, atau sejenisnya yang dilakukan baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok, itu hendaknya diperiksa motifnya pada konsep siri’ yang mereka anut. Apabila motif peristiwa dilatarbelakangi oleh siri’ maka pemulihannya dapat dirintis melalui nilai-nilai pangnhedereng juga.
Latoa berkata :
“ ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan yaitu ; pertama, kasih saying dalam keluarga, kedua, saling memaafkan secara kekal, ketiga, tidak segan memberi pertolongan dan pengorbanan demi keluhuran, keempat, mengingatkan untuk berbuat kebajikan”.25
Pada kesempatan lain ahli-ahli lontara berkata :
bukankah yang demikian berarti bahwa ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat saling memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran dan wari’ ada buat mengingatkan kepada perbuatan kebajikan”.26
Dengan demikian tujuan hidup menurut pangngadereng tidak lain adalah untuk melaksanakan fitrah manusia guna mencapai martabatnya yakni siri’. Bila pangngadereng dengan segala aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri’ dan hidup tidak lagi artinya menurut orang Bugis. Jadi jawaban yang paling kena terhadap pertanyaan mengapa orang Bugis taat kepada pangngadereng ialah karena siri’.27
C. Pengaruh Siri’ dalam Masyarakat
Sejak ledakan reformasi menjadi fenomena dominan bangsa ini, tiba-tiba saja wacana-wacana klasik kembali menyeruak ke permukaan dan mengambil tempat cukup urgent untuk dijadikan objek kajian. Wacana-wacana klasik tersebut tidak lain adalah konsep siri’ itu sendiri beserta unsur-unsur yang menyertainya. Betapa tidak, hal ini jelas menjadi dominan dibicarakan mengingat sekian banyak kasus siri’ (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang melibatkan tidak sedikit orang Bugis (Sulawesi Selatan)28 yang secara kultural sangat peka terhadap Persoalan-persoalan yang menyinggung harga diri dan membangkitkan perasaan primordial untuk tidak menyebut arogansi siri’ kedaerahan yang telah lama subur dan berakar di Sulawesi Selatan.
Dalam konteks makro Indonesia di luar Sulawesi Selatan sesungguhnya terdapat konsep yang sama menyangkut siri’ yang banyak dianut oleh suku-suku tertentu, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Widodo Widodarmo29 bahwa “… siri’ yang identik dengan perasaan malu terdapat juga pada suku jawa dengan istilah Wirang, pantang untuk orang, jenga untuk orang Bali dan sebagainya.30
Konsep yang dikenal oleh mayoritas suku jawa yang meliputi kurang lebih 60 juta jiwa, menyimpan pula esensi nilai-nilai malu serta harga diri (martabat). Kata wirang atau awirang berarti malu melakukan.31 konsep ini juga ditemukan dalam karya proses jawa klasik, misalnya dapat dibaca dalam kitab Adipurwa, bagian pertama Wiracarita Mahabarata, yang ditulis pada Zaman Dharmawangsa di kala abad X, atau awal abad XI.
Istilah wirang dapat pula dibaca dalam karya proses jawa klasik lainnya, misalnya dalam Serat Sritanjung, kitab Calon Arang serta Babad Tanah Jawi.32
Jika ditelaah secara mendalam pengaruh yang paling dominan mewarnai masyarakat yang menganut paham siri’ seperti di daerah yang disebut terkhusus dalam wilayah Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar, Mandar dan Toraja) dapat dirinci sebagaimana berikut:
1. Meningkatkan tingkat kedisiplinan. Disiplin adalah harkat, martabat dan harga diri. Dia merupakan refleksi dari ketinggian siri’. Menegakkan disiplin baik terhadap orang lain maupun terhadap diri dan keluarga, sesuai dengan fungsi dan peranan yang harus diemban sama dengan menjaga harkat, martabat dan harga diri. Berarti kita telah menunjukkan diri sebagai seorang yang mempunyai siri’. Siri’ pada dasarnya tolok ukur tentang harkat dan martabat. Tolok ukur keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan. Seorang yang mestinya bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya berarti siri’ orang tersebut telah memudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya dilanggar dan diinjak-injak di luar batas-batas hukum dan etika ini berarti siri’ yang bersangkutan telah menurun (berkurang).
2. Siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin Appeq Banua Kaiyang sebagai wakil rakyat, untuk secara tegas menentang keputusan Daeng Mallariq. Siri’ itu pulalah yang menyebabkan Appeq. Banua Kaiyang memecat Daeng Riosok, siri’ itu pulalah yang menyebabkan semua raja Mandar mendukung Pammarica untuk menolak permintaan Gubernur Belanda. Hal ini pulalah yang mendorong Puang Cadia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Kauseng, anak kandungnya menjalani hukuman mati.33 Apabila fungsionaris kerajaan itu tidak berani menjalankan peraturan yang berlaku karena takut pada raja, atau karena melindungi karena memihak pada keluarga sendiri, berarti mereka itu bukanlah orang yang bermartabat dan berharkat tinggi. Berarti harga diri telah memudar, berarti siri’nya telah mengalami erosi. Dengan demikian ia tidak patut lagi menduduki fungsi dan jabatannya itu, karena jabatan tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermartabat dan berharkat tinggi.
Kearifan budaya Mandar yang berkaitan dengan ihwal disiplin di atas merupakan indikasi besarnya potensi budaya yang masih terpendam di berbagai daerah. Budaya tersebut memiliki kemampuan untuk menyodorkan tawaran-tawaran peranan, baik dalam ikut memecahkan issu pembangunan dewasa ini, maupun dalam merumuskan visi kebijaksanaan di masa datang yang dapat mewujudkan disiplin nasional.
Mewujudkan disiplin nasional, sasarannya tentu saja bukan sekedar menimpa ketaatan dan kepatuhan berdasarkan proses conditioning yang bersifat paksaan. Baik paksaan karena kekuatan maupun paksaan karena hukum. Akan tetapi sasaran yang paling ideal adalah menjadikan disiplin menjadi mental blue print.34 sehingga pola tingkah laku yang berstandarisasi, sehingga disiplin telah menjelma sebagai suatu unsur budaya yang hidup dan berfungsi, baik dalam wujud fungsi manifest maupun fungsi latent.35
Studi kasus tentang segi budaya kearifan di kerajaan Balanipa-Mandar seperti dipaparkan pada bab terdahulu, memberikan gambaran adanya budaya disiplin dalam kehidupan masyarakat dan dalam lingkungan penyelenggaraan pemerintah Balanipa. Budaya disiplin ini mampu mewujudkan fungsi manifestnya dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan dan pengaturan. Kemampuan mewujudkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan penegak hukum. Karena disiplin telah menjadi rambu-rambu dalam memandu bangsa dan negara.36 Dapat menimbulkan dampak psikologis terhadap setiap anggota masyarakat yang berupa tumbuh rasa berdosa (disiplin religious), rasa malu (disiplin sosial), gelisah dan tidak tentram karena menganggap bahwa awal disiplin berkaitan dengan harga diri, harkat dan martabat (disiplin affeltif).
Kearifan budaya Mandar memberi isyarat bahwa metode dan cara yang ideal, ialah metode sosialisasi melalui proses belajar simbolik. Hal ini sejalan dengan pendapat Loving Hallowel yang menjelaskan, “Transmisi Kebudayaan dilihat secara kenyataan, tidak boleh dipandang sebagai kemampuan yang diproleh melalui proses conditioning seperti sering kali ditemukan dalam deskripsi etnografi, melainkan sebagai dari proses belajar simbolik.37
Proses perwujudan disiplin dalam kehidupan Balanipa Mandar, nampaknya diramu dalam beberapa langkah sebagai berikut :
a. Pemantapan pola peranan-peranan dalam bentuk pengaturan formasi lembaga kekuasaan yang efektif, seimbang, serasi dan saling berinteraksi perwujudannya adalah adanya Lembaga Kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang berwibawa, dan adanya lembaga pengawasan yang mampu mengendalikan jalannya pelaksanaan kekuasaan.
b. Penciptaan iklim sosial yang segar yang mampu memberikan suasana kepercayaan dan kesadaran masyarakat tentang adanya kepastian hukum.
c. Memantapkan kepercayaan kepada hukum.
d. Timbulnya keteladanan yang sangat mutlak diperlukan di era globalisasi sekarang ini.
e. Adanya sistem nilai etika dan norma yang dapat menjadi pijakan dasar tegak tumbuhnya budaya disiplin. Siri’ ternyata telah mampu menjadi akar tunggang berdirinya disiplin, seperti terlihat dalam budaya Mandar dan budaya Sulawesi Selatan pada umumnya.
3. Nilai Lokko’ sebagai Daya Saring Positif (Perisai)
Sebagaimana dimaklumi di dalam Kongres Kebudayaan Mandar tahun 1991 antara lain dibicarakan mengenai peranan daya cipta dalam pengembangan kebudayaan. Proses yang dimaksud akan terjadi interaktif berkesinambungan yang di dalamnya terdapat daya cipta yang memegang peranan penting.
Daya cipta yang penulis maksudkan telah hadir dan telah mempengaruhi kebribadian setiap anak bangsa yakni sistem budaya lokko’ itu sendiri yang secara psikoanalisis dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Budaya siri’ memberikan dorongan secara sadar lahirnya reaksi-reaksi terhadap kekuatan tertentu yang negatif. Jadi meletakkan kondisi tertentu terhadap jiwa seseorang (pola pikir), budaya siri’ merupakan perangsang untuk bertindak positif dan hati-hati.
b. Budaya siri’ sebagai bagian dari secara keseluruhan sistem budaya global mengenai mekanisme reward and punishment, hal ini dengan sendirinya disamping sebagai “perisai” juga akan memberikan Konsekwensi logis (hukuman) terhadap kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman suatu masyarakat.
c. Budaya siri’ dapat dijadikan modal dasar memasuki proses belajar terutama dalam upaya memperkaya kepribadian.

SEMOGA PADA MADECENG