SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Minggu, 02 Januari 2011

Siri, Budaya Antikekerasan

Sejarawan Anhar Gonggong termasuk yang berpendapat bahwa orang-orang di wilayah timur Indonesia memang lebih cepat tersulut emosinya. Khusus di Sulawesi Selatan, emosi yang mudah meletup itu dikaitkan dengan budaya siri. "Budaya ini bukan hanya ada pada anak muda. Sin ada di semua umur masyarakat Bugis," katanya kepada Tempo, Kamis lalu.
Karena itu, sebagian orang awam dengan mudah mengaitkan aksi-aksi anarkistis mahasiswa di Makassar yang kerap terjadi dalam beberapa tahun terakhir dengan siri. Meski kesimpulan demikian tak tepat, kata Anhar, dalam perkelahian mahasiswa antarfakultas maupun dengan kampus lain yang berujung anarki, penyebab awalnya pasti ada sekelompok mahasiswa yang mempermalukan kelompok lain. "Sekecil apa pun tindakan pelecehan itu, pasti langsung tersulut," katanya.
Meski gampang tersulut, Anhar melanjutkan, orang Bugis tidak menyimpan lama-lama rasa dendam itu. Beberapa waktu ke depan, rasa emosional itu biasanya hilang. Tipikal orang Bugis ini hampir mirip masyarakat Palembang.
Bila ditinjau dari kebudayaan, yang paling dekat dengan budaya Bugis adalah Batak dan penduduk Lampung asli. Ketiga budaya ini memiliki banyak kesamaan, seperti aksara pada suku mereka yang hampir mirip, meski Anhar tidak mengetahui apa penyebab aksara mereka sama. Yang pasti, "Ketiganya gampang naik pitam," katanya.
Menurut Alwi Rachman, budayawan dari Universitas Hasanuddin, budaya sin memang berkait dengan harga diri. "Kipi, jika kita memiliki harga diri yang tinggi, justru tidak akan menggunakan kekerasan sebagai instrumen. Sebab, kekerasan hanya muncul dalam kondisi orang itu kehilangan harga dirinya.
"Jadi harga diri sebenarnya identik dengan antikekerasan. Orang berharga diri tinggi lebih mengandalkan percakapan dan dialog," ujarnya. Warga Makassar, terutama mahasiswa, menurut dosen di fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin itu, seharusnya memegang teguh budaya siri. Dengan demikian, setiap persoalan diselesaikan dengan dialog bersama.
"Kalau mau bertanding di tempat yang tepat untuk mahasiswa, ya, bertanding di media. Lebih baik perang di media ketimbang perang batu di jalanan."
SEMOGA PADA MADECENG