SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Senin, 18 April 2011

sedikit sejarah tentang nene mallomo

Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh legenda (cendekiawan) di Sidenreng Rappang yang kemudian menjadi landmark Kabupaten Sidrap yang hidup di Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng.

Ada juga yang menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654 M di Allakuang, dimana salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi motivasi kerja adalah Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata. Pada zaman dahulu, setiap kerajaan memiliki cendekiawan yang merupakan pembimbing masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Ada 5 orang cendekiawan yang terkenal dalam perjalanan sejarah kerajaan Bugis, yakni Kajao Laliddo (cendekiawan kerajaan Bone), Nene’ Mallomo (cendekiawan kerajaan Sidenreng), Arung Bila (cendekiawan kerajaan Soppeng), La Megguk (cendekiawan kerajaan Luwu) dan Puang ri Maggalatung (cendekiawan kerajaan Wajo).

Para cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya akan menambah wawasan seiap orang. Salah satu pertemuan yang terkenal digelar di Cenrana.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa.
Dari pertemuan tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat hukum.
Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu).

Para cendekiawan kerajaan juga berfungsi untuk menghasilkan karya yang dapat dijadikan pedoman dalam membangun kerajaan/masyarakat ke arah yang lebih baik. Pedoman tersebut lebih dikenal dengan istilah pangadereng. Menurut Muh. Salim (1984), “pangadereng meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam kegiatan orang Bugis, meliputi keseluruhan tata tertib, pedoman hidup dan kehidupan, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat”.


Pangadereng meliputi adek (perbuatan yang memberikan keseimbangan/mappasilasa), bicara (perbuatan saling menyembuhkan/mappasisau dan perkataan yang saling menghormati), rapang (percontohan, yakni perbuatan yang menserupakan/ mappasenrupa), wari (tata cara, yakni perbuatan yang tahu membedakan/mappalaiseng).


Sedangkan Drs. Mattulada (1968) mengatakan : “pangadereng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma-norma, meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat. Pangadereng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Pangadereng meliputi hal ihwal ade’ (adat), bicara, rapang (contoh), wari (tata cara) dan sara’. Semua diperteguh dalam satu rangkuman yang melatarbelakanginya,yaitu satu ikatan yang mendalam ialah siri”.


Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene, Mallomo merupakan seorang laki-laki, walaupun kata nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.


Nama asli Nene’Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’Mallomo adalah La Makkarau. Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya.

Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu Ade Temmakkeana Temmakkeappo, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.

Jumat, 08 April 2011

Tahapan Upacara Kematian dalam Adat Bugis

Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-kampung Bugis terdapat satu upacara adat yang disebut Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.
Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu mabbolo (menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil), maggoso’ (menggosok bagian-bagian tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya) dan mappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Bersamaan dengan pembuatan ulereng, dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng.
Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik. Ulereng diangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda siame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dan cekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama orang Bugis Makassar, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.
Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan, yaitu imam atau ustadz dipesankan oleh keluarga orang yang sudah meninggal itu agar melanjutkan dengan ceramah dikuburan sebelum rombongan/pelayat pulang dari kuburan. Ceramah atau pesan-pesan agama yang umumnya disampaikan sekaitan dengan kematian dan persiapan menghadapi kematian, bahwa kematian itu pasti akan menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan kebahagian didunia maupun di akherat, maka seseorang harus mengisi hari-hari kehidupannya dengan berbuat baik dan amal kebajikan sebanyak mungkin. Sebelum rombongan pengiring mayat pulang,biasanya pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah. Semalaman, di rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca al-Quran secara bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu upacara selamatan sekaligus penghitungan hari kematian yang dihitung mulai dari hari penguburan jenazah.Biasa dalakukan selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara bilampenni sudah bergeser namanya menjadi tiga malam saja. Sebagai penutup, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji dan dilanjutkan santap siang bersama kerabat-kerabat yang di undang.
Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini dilakukan penyembilan sapi. 

Jumat, 01 April 2011

SONGKOK RECCA/SONGKO TO BONE

Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul
(dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?
Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.
Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.
Oleh: Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?
Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.
Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.
Oleh: Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)

Kemampuan Menyesuaikan Diri Manusia Bugis

Oleh:
Anhar Gonggong

Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell di London.

Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.

Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu bersatu selama lebih kurang 100 tahun dan telah menjadi bangsa-negara merdeka selama 60 tahun, masih saja amat sering terjadi gejolak-gejolak meretakkan yang nyaris merobek persatuan dan kehidupan bersama kita sebagai bangsa-negara. Untuk itu, buku ini amat berguna untuk membuka cakrawala pemahaman diri sebagai bangsa-negara yang memang harus selalu berusaha mengembangkan pemahaman diri sejalan dengan dinamika internal dari bangsa-negara yang bersifat majemuk-multikultural ini.

Untuk menghasilkan buah karya yang ”bagaikan intan” ini, Pelras telah menampakkan ketekunan-kegigihan dari seorang peneliti dan sarjana ahli yang menguasai pelbagai alat-alat metodologis dari berbagai ilmu sosial dan humaniora, mulai dari arkeologi, sastra-filologi, sejarah, antropologi-etnografi, hingga sosiologi, sehingga tampak sifat jenis sejarah total-komprehensif. Buah karya sejarah total-komprehensif itu benar-benar merupakan sebuah penampakan dari tidak saja penguasaan metodologi yang tinggi, tetapi juga merupakan ketekunan yang amat ”mengagumkan”. Bayangkan, ia melakukan penelitian dan menulis buku ini dalam jarak waktu tidak kurang dari 40 tahun, lebih dua pertiga dari usianya sekarang yang telah mencapai 72 tahun (lahir 1934).

Ciri manusia Bugis
Meskipun orang Bugis tidak asing bagi berbagai pihak, termasuk pembaca novel Joseph Conrad, menurut Pelras, orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan suku bangsa yang paling tidak dikenal di Nusantara. Karena itu, terjadilah ironi yang lahir dari sedikit pengetahuan yang beredar mengenai mereka, sebagian besar di antaranya merupakan informasi yang keliru.

Salah satu informasi yang keliru itu ialah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dulu kala. Anggapan keliru ini bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai wilayah Nusantara, dari Singapura sampai Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Ada pula yang mengatakan orang Bugis pernah berhasil menyeberangi Samudra Hindia sampai Madagaskar (halaman 3-4).

Anggapan ini, menurut Pelras, adalah keliru karena ”dalam kenyataan sebenarnya orang Bugis pada dasarnya adalah petani”, sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18. Dalam hal perahu Phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara pengujung abad ke-19 dan dekade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak berdasar.

Walau Pelras menyangkal ciri kepelautan manusia Bugis seperti di atas, ia tetap mengakui adanya ciri-ciri khas yang melekat pada manusia Bugis. Salah satu ciri terpenting manusia Bugis ialah ”mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India”. Yang kedua ialah tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka (halaman 4).

Di bidang kesusastraan, orang Bugis juga memiliki tradisinya sendiri, baik sastra lisan maupun tulisan. Catatan yang ditunjukkan oleh Pelras untuk hasil sastra Bugis itu ialah La Galigo. Karya sastra ini merupakan perpaduan antara sastra lisan dan tulisan dan merupakan salah satu epos sastra terbesar di dunia.

Selanjutnya sejak awal abad ke-17 setelah menganut agama Islam, orang Bugis bersama dengan Aceh, Banjar, dan lain-lain dicap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas keislamannya. Malah, demikian Pelras, orang Bugis menjadikan Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.

Meskipun demikian, pada saat yang sama, pelbagai peninggalan pra-Islam tetap mereka pertahankan sampai akhir abad ke-20. Salah satu di antara peninggalan pra-Islam yang paling menarik ialah bissu, yaitu sebuah kelompok yang terdiri dari pendeta-pendeta wadam yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur (halaman 4-5).

Ciri-ciri orang Bugis yang berkaitan dengan karakternya dikenal dengan karakter kerasnya dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Untuk mempertahankan kehormatannya, bila perlu, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Meski demikian, di balik sikap keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya (halaman 5).

Dalam kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari pada umumnya berdasarkan sistem patron-klien, yaitu sistem kelompok setia kawan antara seorang pemimpin dan pengikutnya yang kait-mengait dan menyeluruh. Namun, ikatan kelompok itu tidak melemahkan kepribadiannya. Orang Bugis memiliki sistem hierarkis yang rumit dan kaku, tetapi pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial amat tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tetap merupakan pendorong utama untuk menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan mereka.

Di dalam melihat ciri-ciri orang Bugis seperti disebut di atas, yang terlihat saling berlawanan itu, Pelras tidak melihatnya sebagai ciri yang negatif, bahkan sebaliknya, ia menyimpulkannya dengan kata-kata ”mungkin ciri khas yang saling berlawanan itulah yang membuat orang Bugis memiliki mobilitas yang sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau”. Di seluruh Nusantara dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau pekerjaan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kondisi ruang dan waktu.

Berubah dan menyesuaikan
Selain sifatnya yang saling berlawanan, tetapi memiliki dinamika mobilitas yang tinggi, manusia Bugis juga memiliki daya tahan hidup yang tinggi. Di perantauan mereka melakukan ”pergumulan” hidup untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik. Kalau kita memerhatikan keadaan mereka di perantauan di pelbagai daerah di dalam wilayah republik, tampak kemampuan mereka untuk meraih posisi-posisi penting di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang politik dan pemerintahan dan juga bidang ekonomi perdagangan.

Karena itu, di berbagai daerah, tidak heran jika dijumpai ”perantau” Bugis menguasai bidang perdagangan, dari mulai kelas bawah sampai kelas atas. Tidak mustahil pasar-pasar tradisional yang ada di daerah itu, baik provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh pedagang-pedagang Bugis. Sekadar contoh, ketika Timor Leste masih sebagai Provinsi Timor Timur dalam wilayah Republik Indonesia, jejeran warung ikan bakar lebih kurang 90 persen dimiliki orang-orang Bugis; demikian pula halnya di Papua.

Apa yang memungkinkan perantau Bugis mampu meraih keberhasilan yang terkadang mengundang decak kagum? Kalau mengacu pada pendapat Pelras dalam bukunya itu, maka: ”Tidak pelak lagi kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad”. Tetapi, di balik kemampuan itu, orang Bugis tetap menampakkan sifat khasnya yang saling berlawanan, yaitu di tengah-tengah kemampuannya berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, ”Orang Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas ’kebugisan’ mereka” (halaman 5).

Namun, kemampuan untuk bertahan seperti yang dikemukakan di atas mungkin juga ditopang oleh sifat yang dipuji oleh orang Bugis sebagaimana yang tampak di dalam tokoh-tokoh mitos dan fiksi mereka. Kajian atas perilaku para tokoh cerita itu, menurut Pelras, dapat menghasilkan suatu potret mengenai mentalitas orang Bugis yang didominasi oleh empat sifat. Dalam lontara’ disebutkan bahwa keempat sifat tersebut adalah sulapa eppa (segi empat) yang harus dimiliki setiap pemimpin yang baik. Karena itu, jika akan tampil sebagai pemimpin selain berasal dari keturunan yang tepat, ia harus memiliki sifat-karakter: warani (berani).

Prototipe utama dari to-warani dalam kesusastraan Bugis ialah Sawerigading. Ia berkali-kali harus berperang untuk mendapatkan tujuannya, termasuk berperang untuk mendapatkan calon istrinya, We Cudai (halaman 255). Yang kedua, to-acca (orang pintar) yang dapat diartikan sebagai ahli, cerdik. Baik to-warani maupun to-acca dapat berwujud seorang laki-laki maupun perempuan (halaman 258). Keutamaan sifat yang ketiga ialah harta kekayaan, orang kaya (to-sugi). Keterangan Pelras lebih lanjut tentang kaitan orang Bugis dengan kekayaan ini ialah ”Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan akan zaman ’keemasan’ itu secara harfiah”. Hal tersebut terwujud dalam keinginan untuk memperkaya diri yang tampaknya merupakan motivasi paling kuat dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan sebagian besar mereka. Bahkan, sangat banyak ulama menganggap usaha memperkaya diri sebagai kewajiban sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa dalle hallala) karena memungkinkan seseorang membantu sesama yang kurang beruntung (halaman 259). Keutamaan keempat ialah panrita’, yaitu penguasaan atas seluk-beluk agama, bijaksana, saleh, dan jujur. Walau istilah ini berasal dari kata Sansekerta: pandita, pertapa, namun setelah agama Islam diterima, istilah to-panrita’ dianggap sepadan dengan ulama.

Mencari peluang ekonomi
Buku ini sebenarnya mencakup periode yang sangat jauh ke belakang sampai yang paling mutakhir dan memperlihatkan pula bagaimana manusia Bugis bergumul di dalam proses mengindonesia, setelah proklamasi yang menampakkan pergumulan para pemimpin dan elitenya untuk menyelesaikan konflik yang dilatari oleh DI/TII dan Permesta. Dilanjutkan dengan situasi terakhir yang menampakkan tampilnya dinasti Kalla dalam pentas sebagai dinasti ekonomi serta memasuki arena politik dan mencapai puncak sebagai wakil presiden.

Setelah memberikan uraian yang sangat komprehensif dengan menampilkan fakta-fakta tentang masyarakat Bugis secara sangat rinci bahkan sampai kepada bentuk rumah, jenis-jenis pakaian, jenis makanan yang bersifat catatan antropologis-etnografis dan sejarah, maka di dalam bagian kesimpulannya ia antara lain mencatat bahwa: ”Sepanjang sejarah sosiokultural orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan sangat menakjubkan tetap melekat dalam diri mereka sejak dahulu kala sampai sekarang. Salah satu di antaranya adalah kecenderungan luar biasa mereka untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik di mana pun dan kapan pun itu. Selain itu, yang sangat berkaitan erat dengan itu adalah daya adaptasi terhadap keadaan yang dihadapi sangat mengagumkan” (halaman 397).

Perlu dicatat, sebagai penutup, bahwa pengantar yang diberikan oleh rekan Nirwan Ahmad Arsuka yang berjudul ”Lapis Waktu” sangat penting untuk memahami posisi buku ini beserta isi yang dikandungnya. Pengantarnya itu telah memberikan pemahaman filosofis dan historis terhadap buku yang disebutkannya sebagai ”intan” itu.
SEMOGA PADA MADECENG