SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Minggu, 08 Mei 2011

Asal Usul Gelar Andi pada Bangsawan Bugis

Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan rujukan mutlak.
Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis.
Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.
Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah “Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).
Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.
Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung/To Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 – 1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.
Yang menjadi tanda tanya adalah :
  1. Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya?
  2. Mengapa kata ‘Andi’ yg digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain?
Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki.
Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :
Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.
Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.
Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).
Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.

Sulawesi Selatan dan Sejarah Tradisional

Sulawesi, pulau berbentuk laba-laba di sebelah timur Kalimantan dan sebelah selatan Filipina, dihuni oleh campuran orang-orang yang kompleks yang menggunakan kira-kira tiga puluh bahasa utama yang bisa diidentifikasikan. Penduduk Sulawesi yang paling menonjol dalam jumlahnya, yaitu orang-orang Bugis dan Makassar di semenanjung barat daya, telah memainkan peranan penting tidak hanya dalam sejarah politik pulau itu, tetapi juga sebagai pedagang dan pelaut mereka telah menjelajah segenap penjuru kepulauan ini, sekurang-kurangnya sejak pertengahan abad keenam belas. Sejak dahulu sudah ada hubungan dengan Jawa, sebagaimana ditunjukkan dengan disebutnya beberapa pulau di atau dekat Sulawesi dalam Nagarakertagama, puisi agung keratin Jawa Majapahit pada abad ke empat belas; pahlawan-pahlawan Bugis muncul sebagai tokoh dalam wayang Jawa. Di Jawa, orang-orang Bugis dan Makassar berperang baik di pihak maupun melawan Belanda pada akhir abad ke enam belas, dan memperoleh reputasi yang menakutkan berkat kemahiran dan kesiagaan mereka menggunakan pisau. Para bangsawan Makassar dan Bugis yang terbuang menetap di Banten dan Jambi, dan menjadi terlibat dalam intrik-intrik politik di sana serta di kerajaan Johor di Malaysia, dan pada akhirnya menguasai aristokrasi Johor yang berkuasa dan kerajaan Selangor yang berdekatan. Sensus pada tahun 1930 melaporkan bahwa 10 persen dari orang Bugis dan 2 persen orang Makassar di Hindia Belanda tinggal di laur Sulawesi Selatan. Suatu permukiman Bugis yang cukup besar di Malaya Inggris, khususnya di Johor, terdiri dari hampir 5.000 orang. Di Sepanjang pantai Kalimantan terdapat permukiman Bugis yang besar, di Kabupaten Pontianak dan Balikpapan, di luar kota, orang-orang Bugis merupakan 50 persen dari penduduk. Di antara para pemukim terdapat hanya orang-orang yang berbahasa Bugis, mungkin suatu petunjuk adanya migrasi berkelanjutan. Juga ada migrasi intern di Sulawesi Selatan, tetapi hanya sedikit orang yang bukan berasal dari Sulawesi, yang tinggal di luar Kota Makassar.
Dewasa  ini orang-orang Bugis dan Makassar bersama-sama berjumlah kira-kira 80% dari keseluruhan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan orang Bugis sedikit lebih banyak. Bahasa Bugis dan Makasasr berasal dari leluhur yang sama, dan kedua kelompok itu mempunyai persamaan kebudayaan dan adat, dan terjadi kawin-mawin antara kalangan kelas atas mereka. Yang mirip kebudayaannya dengan kedua suku bangsa ini adalah orang-orang Mandar di bagian barat laut provinsi itu dan sekarang sudah membentuk provinsi sendiri yaitu Sulawesi Barat. Orang-orang Toraja yang berdiam di tengah-tengah pulau itu, secara budaya dan fisik sangat berbeda dengan orang Bugis dan Makassar. Suku Toraja dipandang sebagai sumber utama budak oleh kaum bangsawan Bugis, yang sering kali dibantu dalam memperoleh budak-budak itu oleh kaum bangsawan Toraja yang keluarganya terikat oleh tali perkawinan. Perbedaan budaya yang jelas antara kedua kelompok ini diperkuat oleh dipeluknya agama Islam oleh orang-orang Bugis dan Makassar hampir secara keseluruhan, sedangkan orang Toraja kebanyakan beragama Kristen.
Secara geografis semenanjung itu bercirikan dataran rendah di sepanjang pantai dan di cekungan tengah, yang di tengah-tengahnya ada satu dana besar, Danau Tempe. Tanahnya subur, tetapi kering di sepanjang pantai selatan, sehingga “gudang beras” yang sesungguhnya adalah dataran rendah luas yang membentang dari Watampone (Bone) di pantai timur, melewati Sengkang (Wajo) di tepi Danau Tempe, ke Pinrang, Sidrap dan Parepare di pantai barat. Tanah inti suku Bugis adalah daratan yang subur ini, dan pertanian merupakan kegiatan ekonomi utama mereka, sedangkan suku Makassar dari daerah selatan yang lebih kering sudah lama terkenal sebagai pelaut yang ulung (Tetapi hal ini sama sekali bukan suatu perbedaan yang tajam, dan banyak orang Makassar dari dahulu sampai sekarang adalah petani padi, dan banyak orang Bugis menjadi pelaut, pedagang atau perompak). Ada dua gunung besar, Lompobattang di selatan dan Latimojong di utara, dua gunung ini dan kakinya telah memberikan perlindungan bagi banyak pemberontak dan penjahat yang membuat Sulawesi Selatan sangat terkenal.
Dari tahun 1950 sampai pertengahan 1965 sebagian besar dari bagian selatan Pulau Sulawesi terbenam dalam pemberontakan. Kerusuhan itu mulai ketika orang-orang muda yang telah berjuang sebagai gerilyawan selama revolusi, untuk mendirikan Republik Indonesia yang bebas dari kekuasaan Belanda, tidak diberi status resmi dalam tentara nasional. Sejak permulaan sudah timbul protes, terhadap apa yang dianggap sebagai posisi yang menguntungkan bagi orang-orang Jawa dalam alat pemerintahan sipil dan militer dari negara baru itu, dan kekhawatiran (sebagian diilhami Belanda) terhadap “kolonialisme” Jawa, baik yang dinyatakan dengan pengiriman para pejabat sipil dan militer Jawa untuk menjalankan pemerintahan daerah maupun dalam transmigrasi para petani Jawa miskin ke daerah-daerah yang relatif tidak berpenduduk di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selama dua tahun para pemimpin pemberontakan mencari dasar ideologi yang lebih hakiki bagi protes mereka, baik untuk membenarkannya maupun sebagai sarana untuk menarik dukungan masyarakat. Komunisme dipertimbangkan, tetapi ditolak dan yang Islam disetujui. Di bawah panji-panji Darul Islam (Negara Islam), pemberontakan itu menjelang tahun 1956 menguasai seluruh Sulawesi Selatan kecuali kota-kotanya.
Sekalipun pecahnya pemberontakan dapat ditelusuri kepada kegiatan dan keputusan orang-orang tertentu, petunjuk terhadap watak dan kegigihannya harus dicari dalam sifat dan sejarah masyarakat tempat peristiwa itu terjadi.
Sulawesi Selatan adalah suatu masyarakat yang sering kali digambarkan sebagai “feodal” atau “tradisional”. Ini adalah suatu masyarakat tempat terdapat bangsawan yang kuat, dan memiliki ketaatan yang kuat kepada aturan hukum adat. Tetapi dalam pada itu, Sulawesi Selatan merupakan masyarakat yang bercirikan persaingan ketat, seseorang dinilai tidak hanya oleh statusnya yang diperkirakan, tetapi juga oleh kualitas pribadinya. Penduduk seringkali digambarkan fanatik dalam pengabdian mereka kepada Islam. Sebagaimana dalam semua masyarakat, tidak mudah memisah-misahkan apa apa yang “tradisional” itu, karena baik perubahan maupun adat merupakan bagian dari kebudayaan. Istilah itu bila digunakan dalam tulisan ini mengacu pada masyarakat yang ada sebelum dimasukkannya seluruh daerah itu ke dalam HIndia Belanda pada tahun 1905-1910. Banyak unsur dari masyarakat itu yang tetap bertahan sampai datangnya kemerdekaan pada tahun 1949, bahkan sampai saat ini, sekalipun kecepatan perubahan di Sulawesi, seperti halnya di tempat-tempat lain, lebih tinggi selama abad kedua puluh daripada dalam abad-abad sebelumnya.
Adalah hampir tidak mungkin untuk menetapkan seperti apa masyarakat tradisional itu, sebelum ada hubungan dengan pengaruh-pengaruh asing. Kalaupun ada masalah semacam itu karena penyelenggaraan catatan sejarah di Sulawesi Selatan baru terjadi sesudah dimulainya hubungan dengan para Ulama Islam dan Pedagang Eropa (Portugis) dalam pertengahan abad ke enam belas sampa iawal abad ketujuh belas. Catatan sejarah berbagai kerajaan memang mengandung informasi mengenai masa-masa sebelumnya, beberapa di antaranya jelas bersifat mitologis, tetapi unsur mitologi pun bisa memberikan petunjuk mengenai sejarah awal daerah ini serta pengertian mengenai gagasan tentang masyarakat dan pemerintahannya. Misalnya dongeng-dongeng yang dimasukkan ke dalam kebanyakan catatan sejarah ini menggambarkan bahwa penguasa asli dari kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan telah turun dari surga, mereka adalah tomanurung. Pada umumnya tiga kejadian berturut-turut telah digambarkan, dalam dua kejadian terdahulu keturunan tomanurung mendirikan kerajaan-kerajaan yang kuat, terutama Luwu, tetapi Toraja, Goa, dan Bone juga disebut. Dalam kejadian ketiga, setelah selang tujuh turunan ketika tidak ada raja dan terjadi kekacauan, tomanurung menampakkan diri di beberapa wilayah; dan diminta oleh rakyat untuk memegang jabatan raja dan mengembalikan perdamaian dan ketenteraman.
Dongeng-dongeng tomanurung mempunyai arti sosial dan politik cukup besar di Sulawesi Selatan. Anggapan berasal dari surga bagi kaum bangsawan itu merupakan dasar “hak yang didapat dari Tuhan” untuk memerintah, dan pembenaran untuk kedudukan istimewa bangsawan. Gagasan bahwa tomanurung dikirim dari surga untuk mengakhiri masa kekacauan dan untuk membawa perdamaian dan kemakmuran membenarkan pelembagaan pemerintahan maupun pengendaliannya oleh kaum bangsawan. Dan akhirnya, dimasukkannya tradisi bahwa rakyat minta tomanurung untuk menerima kedudukan raja memperkenalkan suatu unsur yang mirip dengan “kontrak pemerintah” dari pemikiran politik barat, dan mengandung arti pembatasan terhadap kekuasaan untuk raja.
Asal kesurgaan penguasa dilambangkan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan (arajang – tombak, lembing, keris, perhiasan emas, bendera, bajak suci, dsb.) yang dikatakan bekas milik tomanurung. Penguasa memperoleh kekuatan dan posisinya sebagai penjaga tanda-tanda kebesaran tersebut. Hilangnya tanda-tanda kebesaran tersebut akan sangat memperlemah baik penguasa maupun kerajaan itu. Tanda-tanda kebesaran itu dipercaya telah diberkati dengan kekuatan spiritual yang bersifat magis, dan merupakan pusat pemujaan dalam kerajaan tersebut. Pemeliharaan tanda-tanda kebesaran dipercayakan kepada biksu (pendeta Hindu-Budha), yang dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kekuatan luar biasa.

Pakaian Adat Bugis : Kriteria Baju Bodo Berdasarkan Warna

Baju bodo, kita tentu sudah familiar dengan pakaian adat yang satu ini. Baju bodo merupakan pakaian adat masyarakat Bugis-Makassar, terdiri dari berbagai macam warna yang dikenakan oleh perempuan utamanya dalam acara-acara adat seperti acara pengantin dan acara-acara adat yang lain. Tapi sudah tahu belum kalau ternyata perempuan yang memakai baju bodo ini tidak asal memilih warna.
Menurut  orang-orang tua kita, dahulu kala ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo ini. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
  1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
  2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.
  3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
  4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
  5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
  6. Warna ungu dipakai oleh para janda.
Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, utamanya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti trend. Meskipun demikian, di daerah-daerah tertentu atau kampung-kampung bugis di luar kota yang jauh dari pengaruh budaya luar, baju bodo masih banyak dikenakan untuk acara-acara pernikahan dan acara-acara lain. Baju bodo juga tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passappi’-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu.

Sejarah Suku Bugis dan Asal Kata ‘Bugis’

Suku Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero-melayu, atau Melayu muda. masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ‘ugi’ sendiri merujuk pada nama raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi salah satu daerah yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi Birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16,17,18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama didaerah pesisir. Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan.

Kue Nagasari / Bandang-bandang

Bandang-bandang, begitu anda ketik keyword ini di google maka yang muncul adalah berita-berita atau gambar-gambar mengenai banjir bandang. Tapi di Tanah Bugis ada satu kue khas yang bernama bandang. Kue bandang ada dua jenis yaitu bandang lojo (kue bandang tanpa pembungkus yang ditaburi kelapa) dan bandang-bandang, yang ini dibungkus daun pisang dan berbahan dasar pisang juga. Tapi kali ini yang akan dibahas adalah resep kue bugis bandang-bandang yang merupakan kue basah, kalau di Indonesia umumnya lebih dikenal dengan kue nagasari.
Untuk membuatnya cukup mudah.
Bahan :
  • 4 liter tepung beras baru
  • 3 gelas gula pasir
  • 4 sendok makan Garam
  • 12 sendok makan kanji
  • 3 liter santan
  • Pisang secukupnya (Potong 1 buah pisang menjadi 4 bagian)
  • Daun Pisang untuk membungkus
Cara membuat :
  • Ambil 1 liter santan. campur dengan tepung, Ulek sampai halus
  • Tambahkan kanji lalu ulek lagi sampai rata
  • Didihkan 2 liter santan lalu masukkan gula pasir dan adonan tepung tadi.
  • Aduk sampai kental, Angkat
  • Ambil 1 sendok adonan, ratakan diatas daun pembungkus lalu isi dengan pisang.
  • Bungkus lalu kukus sampai masak.
SEMOGA PADA MADECENG