tag:blogger.com,1999:blog-86862133075478899162024-03-13T20:12:44.921-07:00Kehidupan Manusia Bugissamsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.comBlogger50125tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-888934906624655572011-05-08T12:27:00.000-07:002011-05-08T12:27:59.009-07:00Asal Usul Gelar Andi pada Bangsawan Bugis<div style="text-align: left;">Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan rujukan mutlak.</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai <em>extention </em>untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.<br />
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang <em>softly</em> diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk <em>exlusivisme</em> buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah “<em>Rompana Bone</em>“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan “<em>Anre Guru Ana’ Karung</em>” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “<em>Bakka Lolo</em> dan Manu <em>Ketti-ketti</em>“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi <em>patettong’ngi alebbirenna Puanna </em>(menegakkan kehormatan rajanya).</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “<em>Nigatu Wija idi’ Baco/Baso?</em> (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab “<em>Iyye, iyya atanna Petta Pole</em> (saya adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “<em>Koki tudang ana baco/baso</em>” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan <em>pattola, cera dan rajeng,</em> tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “<em>oohh, enreki mai ana baco</em>” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak <em>ponggawa kampong</em> (panglima) atau<em> ana to maredeka</em> yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.<br />
Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum<em> Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta</em> H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone)…</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘<em>Bugis Wedding</em>s’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.<br />
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk <em>Zelf Beestuur </em>(Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh<em> Controleur </em>(Pejabat Belanda) untuk <em>Onder Afdeling</em>. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya <em>To Manurung/To Tompo</em>. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sedangkan<em> To Manurung </em>dan <em>To Tompo</em> yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Penguasa/Raja biasanya kawin dengan sesama <em>To Manurung/To Tompo</em> [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><strong>FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)<br />
(1871 – 1895)</strong></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Yang menjadi tanda tanya adalah :</div><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="text-align: justify;"><li> Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya?</li>
<li>Mengapa kata ‘Andi’ yg digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain?</li>
</ol><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-41642912568290656932011-05-08T12:24:00.001-07:002011-05-08T12:24:59.422-07:00Sulawesi Selatan dan Sejarah TradisionalSulawesi, pulau berbentuk laba-laba di sebelah timur Kalimantan dan sebelah selatan Filipina, dihuni oleh campuran orang-orang yang kompleks yang menggunakan kira-kira tiga puluh bahasa utama yang bisa diidentifikasikan. Penduduk Sulawesi yang paling menonjol dalam jumlahnya, yaitu orang-orang Bugis dan Makassar di semenanjung barat daya, telah memainkan peranan penting tidak hanya dalam sejarah politik pulau itu, tetapi juga sebagai pedagang dan pelaut mereka telah menjelajah segenap penjuru kepulauan ini, sekurang-kurangnya sejak pertengahan abad keenam belas. Sejak dahulu sudah ada hubungan dengan Jawa, sebagaimana ditunjukkan dengan disebutnya beberapa pulau di atau dekat Sulawesi dalam <em>Nagarakertagama</em>, puisi agung keratin Jawa Majapahit pada abad ke empat belas; pahlawan-pahlawan Bugis muncul sebagai tokoh dalam wayang Jawa. Di Jawa, orang-orang Bugis dan Makassar berperang baik di pihak maupun melawan Belanda pada akhir abad ke enam belas, dan memperoleh reputasi yang menakutkan berkat kemahiran dan kesiagaan mereka menggunakan pisau. Para bangsawan Makassar dan Bugis yang terbuang menetap di Banten dan Jambi, dan menjadi terlibat dalam intrik-intrik politik di sana serta di kerajaan Johor di Malaysia, dan pada akhirnya menguasai aristokrasi Johor yang berkuasa dan kerajaan Selangor yang berdekatan. Sensus pada tahun 1930 melaporkan bahwa 10 persen dari orang Bugis dan 2 persen orang Makassar di Hindia Belanda tinggal di laur Sulawesi Selatan. Suatu permukiman Bugis yang cukup besar di Malaya Inggris, khususnya di Johor, terdiri dari hampir 5.000 orang. Di Sepanjang pantai Kalimantan terdapat permukiman Bugis yang besar, di Kabupaten Pontianak dan Balikpapan, di luar kota, orang-orang Bugis merupakan 50 persen dari penduduk. Di antara para pemukim terdapat hanya orang-orang yang berbahasa Bugis, mungkin suatu petunjuk adanya migrasi berkelanjutan. Juga ada migrasi intern di Sulawesi Selatan, tetapi hanya sedikit orang yang bukan berasal dari Sulawesi, yang tinggal di luar Kota Makassar.<br />
Dewasa ini orang-orang Bugis dan Makassar bersama-sama berjumlah kira-kira 80% dari keseluruhan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan orang Bugis sedikit lebih banyak. Bahasa Bugis dan Makasasr berasal dari leluhur yang sama, dan kedua kelompok itu mempunyai persamaan kebudayaan dan adat, dan terjadi kawin-mawin antara kalangan kelas atas mereka. Yang mirip kebudayaannya dengan kedua suku bangsa ini adalah orang-orang Mandar di bagian barat laut provinsi itu dan sekarang sudah membentuk provinsi sendiri yaitu Sulawesi Barat. Orang-orang Toraja yang berdiam di tengah-tengah pulau itu, secara budaya dan fisik sangat berbeda dengan orang Bugis dan Makassar. Suku Toraja dipandang sebagai sumber utama budak oleh kaum bangsawan Bugis, yang sering kali dibantu dalam memperoleh budak-budak itu oleh kaum bangsawan Toraja yang keluarganya terikat oleh tali perkawinan. Perbedaan budaya yang jelas antara kedua kelompok ini diperkuat oleh dipeluknya agama Islam oleh orang-orang Bugis dan Makassar hampir secara keseluruhan, sedangkan orang Toraja kebanyakan beragama Kristen.<br />
Secara geografis semenanjung itu bercirikan dataran rendah di sepanjang pantai dan di cekungan tengah, yang di tengah-tengahnya ada satu dana besar, Danau Tempe. Tanahnya subur, tetapi kering di sepanjang pantai selatan, sehingga “gudang beras” yang sesungguhnya adalah dataran rendah luas yang membentang dari Watampone (Bone) di pantai timur, melewati Sengkang (Wajo) di tepi Danau Tempe, ke Pinrang, Sidrap dan Parepare di pantai barat. Tanah inti suku Bugis adalah daratan yang subur ini, dan pertanian merupakan kegiatan ekonomi utama mereka, sedangkan suku Makassar dari daerah selatan yang lebih kering sudah lama terkenal sebagai pelaut yang ulung (Tetapi hal ini sama sekali bukan suatu perbedaan yang tajam, dan banyak orang Makassar dari dahulu sampai sekarang adalah petani padi, dan banyak orang Bugis menjadi pelaut, pedagang atau perompak). Ada dua gunung besar, Lompobattang di selatan dan Latimojong di utara, dua gunung ini dan kakinya telah memberikan perlindungan bagi banyak pemberontak dan penjahat yang membuat Sulawesi Selatan sangat terkenal.<br />
Dari tahun 1950 sampai pertengahan 1965 sebagian besar dari bagian selatan Pulau Sulawesi terbenam dalam pemberontakan. Kerusuhan itu mulai ketika orang-orang muda yang telah berjuang sebagai gerilyawan selama revolusi, untuk mendirikan Republik Indonesia yang bebas dari kekuasaan Belanda, tidak diberi status resmi dalam tentara nasional. Sejak permulaan sudah timbul protes, terhadap apa yang dianggap sebagai posisi yang menguntungkan bagi orang-orang Jawa dalam alat pemerintahan sipil dan militer dari negara baru itu, dan kekhawatiran (sebagian diilhami Belanda) terhadap “kolonialisme” Jawa, baik yang dinyatakan dengan pengiriman para pejabat sipil dan militer Jawa untuk menjalankan pemerintahan daerah maupun dalam transmigrasi para petani Jawa miskin ke daerah-daerah yang relatif tidak berpenduduk di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selama dua tahun para pemimpin pemberontakan mencari dasar ideologi yang lebih hakiki bagi protes mereka, baik untuk membenarkannya maupun sebagai sarana untuk menarik dukungan masyarakat. Komunisme dipertimbangkan, tetapi ditolak dan yang Islam disetujui. Di bawah panji-panji Darul Islam (Negara Islam), pemberontakan itu menjelang tahun 1956 menguasai seluruh Sulawesi Selatan kecuali kota-kotanya.<br />
Sekalipun pecahnya pemberontakan dapat ditelusuri kepada kegiatan dan keputusan orang-orang tertentu, petunjuk terhadap watak dan kegigihannya harus dicari dalam sifat dan sejarah masyarakat tempat peristiwa itu terjadi.<br />
Sulawesi Selatan adalah suatu masyarakat yang sering kali digambarkan sebagai “feodal” atau “tradisional”. Ini adalah suatu masyarakat tempat terdapat bangsawan yang kuat, dan memiliki ketaatan yang kuat kepada aturan hukum adat. Tetapi dalam pada itu, Sulawesi Selatan merupakan masyarakat yang bercirikan persaingan ketat, seseorang dinilai tidak hanya oleh statusnya yang diperkirakan, tetapi juga oleh kualitas pribadinya. Penduduk seringkali digambarkan fanatik dalam pengabdian mereka kepada Islam. Sebagaimana dalam semua masyarakat, tidak mudah memisah-misahkan apa apa yang “tradisional” itu, karena baik perubahan maupun adat merupakan bagian dari kebudayaan. Istilah itu bila digunakan dalam tulisan ini mengacu pada masyarakat yang ada sebelum dimasukkannya seluruh daerah itu ke dalam HIndia Belanda pada tahun 1905-1910. Banyak unsur dari masyarakat itu yang tetap bertahan sampai datangnya kemerdekaan pada tahun 1949, bahkan sampai saat ini, sekalipun kecepatan perubahan di Sulawesi, seperti halnya di tempat-tempat lain, lebih tinggi selama abad kedua puluh daripada dalam abad-abad sebelumnya.<br />
Adalah hampir tidak mungkin untuk menetapkan seperti apa masyarakat tradisional itu, sebelum ada hubungan dengan pengaruh-pengaruh asing. Kalaupun ada masalah semacam itu karena penyelenggaraan catatan sejarah di Sulawesi Selatan baru terjadi sesudah dimulainya hubungan dengan para Ulama Islam dan Pedagang Eropa (Portugis) dalam pertengahan abad ke enam belas sampa iawal abad ketujuh belas. Catatan sejarah berbagai kerajaan memang mengandung informasi mengenai masa-masa sebelumnya, beberapa di antaranya jelas bersifat mitologis, tetapi unsur mitologi pun bisa memberikan petunjuk mengenai sejarah awal daerah ini serta pengertian mengenai gagasan tentang masyarakat dan pemerintahannya. Misalnya dongeng-dongeng yang dimasukkan ke dalam kebanyakan catatan sejarah ini menggambarkan bahwa penguasa asli dari kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan telah turun dari surga, mereka adalah <em>tomanurung</em>. Pada umumnya tiga kejadian berturut-turut telah digambarkan, dalam dua kejadian terdahulu keturunan <em>tomanurung</em> mendirikan kerajaan-kerajaan yang kuat, terutama Luwu, tetapi Toraja, Goa, dan Bone juga disebut. Dalam kejadian ketiga, setelah selang tujuh turunan ketika tidak ada raja dan terjadi kekacauan, <em>tomanurung </em>menampakkan diri di beberapa wilayah; dan diminta oleh rakyat untuk memegang jabatan raja dan mengembalikan perdamaian dan ketenteraman.<br />
Dongeng-dongeng <em>tomanurung</em> mempunyai arti sosial dan politik cukup besar di Sulawesi Selatan. Anggapan berasal dari surga bagi kaum bangsawan itu merupakan dasar “hak yang didapat dari Tuhan” untuk memerintah, dan pembenaran untuk kedudukan istimewa bangsawan. Gagasan bahwa <em>tomanurung</em> dikirim dari surga untuk mengakhiri masa kekacauan dan untuk membawa perdamaian dan kemakmuran membenarkan pelembagaan pemerintahan maupun pengendaliannya oleh kaum bangsawan. Dan akhirnya, dimasukkannya tradisi bahwa rakyat minta <em>tomanurung</em> untuk menerima kedudukan raja memperkenalkan suatu unsur yang mirip dengan “kontrak pemerintah” dari pemikiran politik barat, dan mengandung arti pembatasan terhadap kekuasaan untuk raja.<br />
Asal kesurgaan penguasa dilambangkan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan (<em>arajang – </em>tombak, lembing, keris, perhiasan emas, bendera, bajak suci, dsb.) yang dikatakan bekas milik <em>tomanurung</em>. Penguasa memperoleh kekuatan dan posisinya sebagai penjaga tanda-tanda kebesaran tersebut. Hilangnya tanda-tanda kebesaran tersebut akan sangat memperlemah baik penguasa maupun kerajaan itu. Tanda-tanda kebesaran itu dipercaya telah diberkati dengan kekuatan spiritual yang bersifat magis, dan merupakan pusat pemujaan dalam kerajaan tersebut. Pemeliharaan tanda-tanda kebesaran dipercayakan kepada <em>biksu</em> (pendeta Hindu-Budha), yang dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kekuatan luar biasa.samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-30981224121791157912011-05-08T12:22:00.000-07:002011-05-08T12:22:47.277-07:00Pakaian Adat Bugis : Kriteria Baju Bodo Berdasarkan WarnaBaju bodo, kita tentu sudah familiar dengan pakaian adat yang satu ini. Baju bodo merupakan pakaian adat masyarakat Bugis-Makassar, terdiri dari berbagai macam warna yang dikenakan oleh perempuan utamanya dalam acara-acara adat seperti acara pengantin dan acara-acara adat yang lain. Tapi sudah tahu belum kalau ternyata perempuan yang memakai baju bodo ini tidak asal memilih warna. <br />
Menurut orang-orang tua kita, dahulu kala ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo ini. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.<br />
<ol><li>Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.</li>
<li>Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.</li>
<li>Warna merah darah untuk 17-25 tahun.</li>
<li>Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.</li>
<li>Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan</li>
<li>Warna ungu dipakai oleh para janda.</li>
</ol>Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, utamanya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti trend. Meskipun demikian, di daerah-daerah tertentu atau kampung-kampung bugis di luar kota yang jauh dari pengaruh budaya luar, baju bodo masih banyak dikenakan untuk acara-acara pernikahan dan acara-acara lain. Baju bodo juga tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passappi’-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu.samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-49990147635018619972011-05-08T12:20:00.000-07:002011-05-08T12:20:47.364-07:00Sejarah Suku Bugis dan Asal Kata ‘Bugis’<div style="text-align: left;">Suku Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero-melayu, atau Melayu muda. masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ‘ugi’ sendiri merujuk pada nama raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi salah satu daerah yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi Birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16,17,18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama didaerah pesisir. Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan.</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-23799645857041562942011-05-08T12:15:00.001-07:002011-05-08T12:24:09.540-07:00Kue Nagasari / Bandang-bandang<div style="text-align: justify;">Bandang-bandang, begitu anda ketik keyword ini di google maka yang muncul adalah berita-berita atau gambar-gambar mengenai banjir bandang. Tapi di Tanah Bugis ada satu kue khas yang bernama bandang. Kue bandang ada dua jenis yaitu bandang lojo (kue bandang tanpa pembungkus yang ditaburi kelapa) dan bandang-bandang, yang ini dibungkus daun pisang dan berbahan dasar pisang juga. Tapi kali ini yang akan dibahas adalah resep kue bugis bandang-bandang yang merupakan kue basah, kalau di Indonesia umumnya lebih dikenal dengan kue nagasari. </div><div style="text-align: justify;">Untuk membuatnya cukup mudah.</div>Bahan :<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLSWLiHjtJ9GPP1q3XIh3FCWGkhJwXipAm3UPcZRQT444ug_oJuJIiZLAhcDMzXw-HplLLTZ4MkzbSl8kymvxqYFaPnjrhm0NBC3hmviZ5LZsJ6HzzVQ1MirP-f48QqEoO3O7q_KYcuD84/s1600/kue-bandang-bugis.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLSWLiHjtJ9GPP1q3XIh3FCWGkhJwXipAm3UPcZRQT444ug_oJuJIiZLAhcDMzXw-HplLLTZ4MkzbSl8kymvxqYFaPnjrhm0NBC3hmviZ5LZsJ6HzzVQ1MirP-f48QqEoO3O7q_KYcuD84/s1600/kue-bandang-bugis.jpeg" /></a></div><ul><li>4 liter tepung beras baru</li>
<li>3 gelas gula pasir</li>
<li>4 sendok makan Garam</li>
<li>12 sendok makan kanji</li>
<li>3 liter santan</li>
<li>Pisang secukupnya (Potong 1 buah pisang menjadi 4 bagian)</li>
<li>Daun Pisang untuk membungkus</li>
</ul>Cara membuat :<br />
<ul><li>Ambil 1 liter santan. campur dengan tepung, Ulek sampai halus</li>
<li>Tambahkan kanji lalu ulek lagi sampai rata</li>
<li>Didihkan 2 liter santan lalu masukkan gula pasir dan adonan tepung tadi.</li>
<li>Aduk sampai kental, Angkat</li>
<li>Ambil 1 sendok adonan, ratakan diatas daun pembungkus lalu isi dengan pisang.</li>
<li>Bungkus lalu kukus sampai masak.</li>
</ul>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-17196090190303230632011-04-18T12:35:00.000-07:002011-04-18T12:35:15.388-07:00sedikit sejarah tentang nene mallomo<div style="font-family: Verdana,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: x-small;"><b>Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh legenda (cendekiawan) di Sidenreng Rappang yang kemudian menjadi landmark Kabupaten Sidrap yang hidup di Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng.<br />
<br />
Ada juga yang menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654 M di Allakuang, dimana salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi motivasi kerja adalah Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata. Pada zaman dahulu, setiap kerajaan memiliki cendekiawan yang merupakan pembimbing masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.</b> <b><br />
Ada 5 orang cendekiawan yang terkenal dalam perjalanan sejarah kerajaan Bugis, yakni Kajao Laliddo (cendekiawan kerajaan Bone), Nene’ Mallomo (cendekiawan kerajaan Sidenreng), Arung Bila (cendekiawan kerajaan Soppeng), La Megguk (cendekiawan kerajaan Luwu) dan Puang ri Maggalatung (cendekiawan kerajaan Wajo).<br />
<br />
Para cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya akan menambah wawasan seiap orang. Salah satu pertemuan yang terkenal digelar di Cenrana.</b> <b><br />
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa.<br />
Dari pertemuan tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat hukum.<br />
Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu).<br />
<br />
Para cendekiawan kerajaan juga berfungsi untuk menghasilkan karya yang dapat dijadikan pedoman dalam membangun kerajaan/masyarakat ke arah yang lebih baik. Pedoman tersebut lebih dikenal dengan istilah pangadereng. Menurut Muh. Salim (1984), “pangadereng meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam kegiatan orang Bugis, meliputi keseluruhan tata tertib, pedoman hidup dan kehidupan, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat”.</b> <b><br />
<br />
Pangadereng meliputi adek (perbuatan yang memberikan keseimbangan/mappasilasa), bicara (perbuatan saling menyembuhkan/mappasisau dan perkataan yang saling menghormati), rapang (percontohan, yakni perbuatan yang menserupakan/ mappasenrupa), wari (tata cara, yakni perbuatan yang tahu membedakan/mappalaiseng).</b> <b><br />
<br />
Sedangkan Drs. Mattulada (1968) mengatakan : “pangadereng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma-norma, meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat. Pangadereng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Pangadereng meliputi hal ihwal ade’ (adat), bicara, rapang (contoh), wari (tata cara) dan sara’. Semua diperteguh dalam satu rangkuman yang melatarbelakanginya,yaitu satu ikatan yang mendalam ialah siri”.</b> <b><br />
<br />
Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene, Mallomo merupakan seorang laki-laki, walaupun kata nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.</b> <b><br />
<br />
Nama asli Nene’Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’Mallomo adalah La Makkarau. Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya.</b> <b><br />
Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu Ade Temmakkeana Temmakkeappo, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.</b></span></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-73015382226114237392011-04-08T20:47:00.000-07:002011-04-10T05:08:32.613-07:00Tahapan Upacara Kematian dalam Adat Bugis<div style="text-align: justify;">Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-kampung Bugis terdapat satu upacara adat yang disebut <i>Ammateang</i> atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.</div><div></div><div style="text-align: justify;">Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawa <i>sidekka</i> (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa<i> passolo</i> (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu <i>mabbolo</i> (menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil), <i>maggoso’</i> (menggosok bagian-bagian tubuh mayat), <i>mangojo</i> (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya) dan <i>mappajjenne’</i> (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang yang bertugas tersebut diberikan <i>pappasidekka</i> (sedekah) berupa pakaian si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan kain<i> kaci </i>(kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya membuat<i> ulereng</i> (usungan mayat) untuk golongan <i>tau samara</i> (orang kebanyakan) atau <i>Walasuji</i> (untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Bersamaan dengan pembuatan <i>ulereng</i>, dibuat pula <i>cekko-cekko</i>, yaitu semacam tudungan yang berbentuk lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan diatas<i> ulereng</i>.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Tata cara membawa usungan atau <i>ulureng</i> ini terbilang unik. <i>Ulereng </i>diangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-gantian mengusung <i>ulereng</i>. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda <i>siame’ </i>(penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dan<i> cekko-cekko’</i>. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama orang Bugis Makassar, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan, yaitu imam atau ustadz dipesankan oleh keluarga orang yang sudah meninggal itu agar melanjutkan dengan ceramah dikuburan sebelum rombongan/pelayat pulang dari kuburan. Ceramah atau pesan-pesan agama yang umumnya disampaikan sekaitan dengan kematian dan persiapan menghadapi kematian, bahwa kematian itu pasti akan menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan kebahagian didunia maupun di akherat, maka seseorang harus mengisi hari-hari kehidupannya dengan berbuat baik dan amal kebajikan sebanyak mungkin. Sebelum rombongan pengiring mayat pulang,biasanya pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah. Semalaman, di rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca al-Quran secara bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu upacara selamatan sekaligus penghitungan hari kematian yang dihitung mulai dari hari penguburan jenazah.Biasa dalakukan selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara bilampenni sudah bergeser namanya menjadi tiga malam saja. Sebagai penutup, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji dan dilanjutkan santap siang bersama kerabat-kerabat yang di undang.</div><div style="text-align: justify;">Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini dilakukan penyembilan sapi. </div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-69462272439591671642011-04-01T11:54:00.000-07:002011-04-01T11:54:37.945-07:00SONGKOK RECCA/SONGKO TO BONE<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW_RELTfGhBJbw2Syt8gU4ERdXrtL5FwbEVP7Wfz_EtsQYK-xhugvGVzOE2uJBcBfaWD0ngjNLxSESFmbyd8neCgzYT2h9dXYLGqdC6FnLRR7AfkF0rbxPODY09boqz2n1J2WsQN7N6Tb9/s1600/t_58680732_1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW_RELTfGhBJbw2Syt8gU4ERdXrtL5FwbEVP7Wfz_EtsQYK-xhugvGVzOE2uJBcBfaWD0ngjNLxSESFmbyd8neCgzYT2h9dXYLGqdC6FnLRR7AfkF0rbxPODY09boqz2n1J2WsQN7N6Tb9/s1600/t_58680732_1.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul</div><div> </div><div style="text-align: justify;">(dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut <em>Assareng </em>yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau <em>assareng</em> itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><strong>Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?</strong></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Oleh: Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)<strong>Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?</strong></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Oleh: Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-5200405944709055552011-04-01T11:46:00.000-07:002011-04-01T11:46:26.451-07:00Kemampuan Menyesuaikan Diri Manusia Bugis<div class="dropmenudiv" id="dropmenu1"> </div><div class="dropmenudiv" id="dropmenu2"> </div><div class="dropmenudiv" id="dropmenu3" style="height: auto; left: -1000px; overflow: hidden; top: -1000px; visibility: hidden;"> </div><div class="dropmenudiv" id="dropmenu4"> </div><div class="dropmenudiv" id="dropmenu5" style="height: auto; left: -1000px; overflow: hidden; top: -1000px; visibility: hidden;"> </div><div class="dropmenudiv" id="dropmenu6"> </div><div class="narrowcolumn"> <div class="post section" id="main"><div id="uds-searchControl"><a href="" name="uds-search-results"></a></div><div class="widget Blog" id="Blog1"> <div class="blog-posts hfeed"> <div class="post hentry"> <div class="breadcrumbs"> <a href="http://uun-halimah.blogspot.com/" rel="tag"><br />
</a> </div><span style="color: white;"> </span> <div class="post-body entry-content"><div> </div><div style="color: white; text-align: center;">Oleh:</div><div style="font-weight: bold; text-align: center;">Anhar Gonggong</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />
Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell di London.<br />
<br />
Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.<br />
<br />
Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu bersatu selama lebih kurang 100 tahun dan telah menjadi bangsa-negara merdeka selama 60 tahun, masih saja amat sering terjadi gejolak-gejolak meretakkan yang nyaris merobek persatuan dan kehidupan bersama kita sebagai bangsa-negara. Untuk itu, buku ini amat berguna untuk membuka cakrawala pemahaman diri sebagai bangsa-negara yang memang harus selalu berusaha mengembangkan pemahaman diri sejalan dengan dinamika internal dari bangsa-negara yang bersifat majemuk-multikultural ini.<br />
<br />
Untuk menghasilkan buah karya yang ”bagaikan intan” ini, Pelras telah menampakkan ketekunan-kegigihan dari seorang peneliti dan sarjana ahli yang menguasai pelbagai alat-alat metodologis dari berbagai ilmu sosial dan humaniora, mulai dari arkeologi, sastra-filologi, sejarah, antropologi-etnografi, hingga sosiologi, sehingga tampak sifat jenis sejarah total-komprehensif. Buah karya sejarah total-komprehensif itu benar-benar merupakan sebuah penampakan dari tidak saja penguasaan metodologi yang tinggi, tetapi juga merupakan ketekunan yang amat ”mengagumkan”. Bayangkan, ia melakukan penelitian dan menulis buku ini dalam jarak waktu tidak kurang dari 40 tahun, lebih dua pertiga dari usianya sekarang yang telah mencapai 72 tahun (lahir 1934).<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Ciri manusia Bugis</span><br />
Meskipun orang Bugis tidak asing bagi berbagai pihak, termasuk pembaca novel Joseph Conrad, menurut Pelras, orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan suku bangsa yang paling tidak dikenal di Nusantara. Karena itu, terjadilah ironi yang lahir dari sedikit pengetahuan yang beredar mengenai mereka, sebagian besar di antaranya merupakan informasi yang keliru.<br />
<br />
Salah satu informasi yang keliru itu ialah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dulu kala. Anggapan keliru ini bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai wilayah Nusantara, dari Singapura sampai Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Ada pula yang mengatakan orang Bugis pernah berhasil menyeberangi Samudra Hindia sampai Madagaskar (halaman 3-4).<br />
<br />
Anggapan ini, menurut Pelras, adalah keliru karena ”dalam kenyataan sebenarnya orang Bugis pada dasarnya adalah petani”, sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18. Dalam hal perahu Phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara pengujung abad ke-19 dan dekade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak berdasar.<br />
<br />
Walau Pelras menyangkal ciri kepelautan manusia Bugis seperti di atas, ia tetap mengakui adanya ciri-ciri khas yang melekat pada manusia Bugis. Salah satu ciri terpenting manusia Bugis ialah ”mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India”. Yang kedua ialah tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka (halaman 4).<br />
<br />
Di bidang kesusastraan, orang Bugis juga memiliki tradisinya sendiri, baik sastra lisan maupun tulisan. Catatan yang ditunjukkan oleh Pelras untuk hasil sastra Bugis itu ialah La Galigo. Karya sastra ini merupakan perpaduan antara sastra lisan dan tulisan dan merupakan salah satu epos sastra terbesar di dunia.<br />
<br />
Selanjutnya sejak awal abad ke-17 setelah menganut agama Islam, orang Bugis bersama dengan Aceh, Banjar, dan lain-lain dicap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas keislamannya. Malah, demikian Pelras, orang Bugis menjadikan Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.<br />
<br />
Meskipun demikian, pada saat yang sama, pelbagai peninggalan pra-Islam tetap mereka pertahankan sampai akhir abad ke-20. Salah satu di antara peninggalan pra-Islam yang paling menarik ialah bissu, yaitu sebuah kelompok yang terdiri dari pendeta-pendeta wadam yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur (halaman 4-5).<br />
<br />
Ciri-ciri orang Bugis yang berkaitan dengan karakternya dikenal dengan karakter kerasnya dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Untuk mempertahankan kehormatannya, bila perlu, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Meski demikian, di balik sikap keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya (halaman 5).<br />
<br />
Dalam kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari pada umumnya berdasarkan sistem patron-klien, yaitu sistem kelompok setia kawan antara seorang pemimpin dan pengikutnya yang kait-mengait dan menyeluruh. Namun, ikatan kelompok itu tidak melemahkan kepribadiannya. Orang Bugis memiliki sistem hierarkis yang rumit dan kaku, tetapi pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial amat tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tetap merupakan pendorong utama untuk menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan mereka.<br />
<br />
Di dalam melihat ciri-ciri orang Bugis seperti disebut di atas, yang terlihat saling berlawanan itu, Pelras tidak melihatnya sebagai ciri yang negatif, bahkan sebaliknya, ia menyimpulkannya dengan kata-kata ”mungkin ciri khas yang saling berlawanan itulah yang membuat orang Bugis memiliki mobilitas yang sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau”. Di seluruh Nusantara dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau pekerjaan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kondisi ruang dan waktu.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Berubah dan menyesuaikan</span><br />
Selain sifatnya yang saling berlawanan, tetapi memiliki dinamika mobilitas yang tinggi, manusia Bugis juga memiliki daya tahan hidup yang tinggi. Di perantauan mereka melakukan ”pergumulan” hidup untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik. Kalau kita memerhatikan keadaan mereka di perantauan di pelbagai daerah di dalam wilayah republik, tampak kemampuan mereka untuk meraih posisi-posisi penting di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang politik dan pemerintahan dan juga bidang ekonomi perdagangan.<br />
<br />
Karena itu, di berbagai daerah, tidak heran jika dijumpai ”perantau” Bugis menguasai bidang perdagangan, dari mulai kelas bawah sampai kelas atas. Tidak mustahil pasar-pasar tradisional yang ada di daerah itu, baik provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh pedagang-pedagang Bugis. Sekadar contoh, ketika Timor Leste masih sebagai Provinsi Timor Timur dalam wilayah Republik Indonesia, jejeran warung ikan bakar lebih kurang 90 persen dimiliki orang-orang Bugis; demikian pula halnya di Papua.<br />
<br />
Apa yang memungkinkan perantau Bugis mampu meraih keberhasilan yang terkadang mengundang decak kagum? Kalau mengacu pada pendapat Pelras dalam bukunya itu, maka: ”Tidak pelak lagi kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad”. Tetapi, di balik kemampuan itu, orang Bugis tetap menampakkan sifat khasnya yang saling berlawanan, yaitu di tengah-tengah kemampuannya berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, ”Orang Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas ’kebugisan’ mereka” (halaman 5).<br />
<br />
Namun, kemampuan untuk bertahan seperti yang dikemukakan di atas mungkin juga ditopang oleh sifat yang dipuji oleh orang Bugis sebagaimana yang tampak di dalam tokoh-tokoh mitos dan fiksi mereka. Kajian atas perilaku para tokoh cerita itu, menurut Pelras, dapat menghasilkan suatu potret mengenai mentalitas orang Bugis yang didominasi oleh empat sifat. Dalam lontara’ disebutkan bahwa keempat sifat tersebut adalah sulapa eppa (segi empat) yang harus dimiliki setiap pemimpin yang baik. Karena itu, jika akan tampil sebagai pemimpin selain berasal dari keturunan yang tepat, ia harus memiliki sifat-karakter: warani (berani).<br />
<br />
Prototipe utama dari to-warani dalam kesusastraan Bugis ialah Sawerigading. Ia berkali-kali harus berperang untuk mendapatkan tujuannya, termasuk berperang untuk mendapatkan calon istrinya, We Cudai (halaman 255). Yang kedua, to-acca (orang pintar) yang dapat diartikan sebagai ahli, cerdik. Baik to-warani maupun to-acca dapat berwujud seorang laki-laki maupun perempuan (halaman 258). Keutamaan sifat yang ketiga ialah harta kekayaan, orang kaya (to-sugi). Keterangan Pelras lebih lanjut tentang kaitan orang Bugis dengan kekayaan ini ialah ”Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan akan zaman ’keemasan’ itu secara harfiah”. Hal tersebut terwujud dalam keinginan untuk memperkaya diri yang tampaknya merupakan motivasi paling kuat dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan sebagian besar mereka. Bahkan, sangat banyak ulama menganggap usaha memperkaya diri sebagai kewajiban sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa dalle hallala) karena memungkinkan seseorang membantu sesama yang kurang beruntung (halaman 259). Keutamaan keempat ialah panrita’, yaitu penguasaan atas seluk-beluk agama, bijaksana, saleh, dan jujur. Walau istilah ini berasal dari kata Sansekerta: pandita, pertapa, namun setelah agama Islam diterima, istilah to-panrita’ dianggap sepadan dengan ulama.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Mencari peluang ekonomi</span><br />
Buku ini sebenarnya mencakup periode yang sangat jauh ke belakang sampai yang paling mutakhir dan memperlihatkan pula bagaimana manusia Bugis bergumul di dalam proses mengindonesia, setelah proklamasi yang menampakkan pergumulan para pemimpin dan elitenya untuk menyelesaikan konflik yang dilatari oleh DI/TII dan Permesta. Dilanjutkan dengan situasi terakhir yang menampakkan tampilnya dinasti Kalla dalam pentas sebagai dinasti ekonomi serta memasuki arena politik dan mencapai puncak sebagai wakil presiden.<br />
<br />
Setelah memberikan uraian yang sangat komprehensif dengan menampilkan fakta-fakta tentang masyarakat Bugis secara sangat rinci bahkan sampai kepada bentuk rumah, jenis-jenis pakaian, jenis makanan yang bersifat catatan antropologis-etnografis dan sejarah, maka di dalam bagian kesimpulannya ia antara lain mencatat bahwa: ”Sepanjang sejarah sosiokultural orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan sangat menakjubkan tetap melekat dalam diri mereka sejak dahulu kala sampai sekarang. Salah satu di antaranya adalah kecenderungan luar biasa mereka untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik di mana pun dan kapan pun itu. Selain itu, yang sangat berkaitan erat dengan itu adalah daya adaptasi terhadap keadaan yang dihadapi sangat mengagumkan” (halaman 397).<br />
<br />
Perlu dicatat, sebagai penutup, bahwa pengantar yang diberikan oleh rekan Nirwan Ahmad Arsuka yang berjudul ”Lapis Waktu” sangat penting untuk memahami posisi buku ini beserta isi yang dikandungnya. Pengantarnya itu telah memberikan pemahaman filosofis dan historis terhadap buku yang disebutkannya sebagai ”intan” itu.</div></div></div></div></div></div></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-78154927303573326502011-03-30T13:56:00.000-07:002011-03-30T13:56:53.637-07:00<span class="Apple-style-span" style="color: white; font-family: Arial; font-size: 12px; line-height: 19px;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik atau Badek merupakan pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam atau ganda, dengan panjang mencapai sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamir. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><b style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Perihal Badik Senjata Masyarakat Bugis</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><b style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik makassar</b><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><b style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik Bugis Luwu</b><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><b style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Kul Buntet / Pusaran</b><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).<o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><b style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik Caringin Tilu</b><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “<b style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Taniya ugi narekko de’na punnai kawali</b>" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).<b style="color: black; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><o:p style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></o:p></b></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 12pt; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Badik</span></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-261494529799626332011-03-29T13:00:00.000-07:002011-03-29T13:00:21.814-07:00Patettong Ada<span class="Apple-style-span" style="color: #666666; font-family: 'Trebuchet MS', 'Lucida Grande', Tahoma, Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 18px;"></span><br />
<table class="contentpaneopen" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify; width: 693px;"><tbody style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">
<tr style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><td style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" valign="top"><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;">Bagi manusia Bugis, menegakkan hukum terhadap suatu pelanggaran merupakan kewajiban. Dalam konsep Siri' (malu, harga diri) terungkap bahwa manusia Bugis yang berbuat semaunya dan tidak lagi mempedulikan aturan-aturan adat (etika panngadereng atau peradaban) dianggap sebagai manusia yang tidak mempunyai harga diri. Siri' atau harga diri merupakan landasan bagi "pemimpin" untuk senantiasa menegakkan hukum tanpa pilih kasih. Pemimpin yang tidak mampu menegakkan hukum dianggap pemimpin lembek atau banci. Seseorang yang tidak mempunyai Siri' diumpamakan sebagai bangkai yang berjalan. Dalam ungkapan Bugis disebutkan: Siri' emmi to riaseng tau (Hanya karena Siri'-lah kita dinamakan manusia). Itulah sebabnya mengapa para orang tua Bugis menjadikan Siri' sebagai hal yang amat penting dalam nasihat-nasihat, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Said sebagai berikut.</div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;">Taro-taroi alemu siri'</div><div style="margin-bottom: 0.5em; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0.5em; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></div><div style="text-align: justify;">Narekko de' siri'mu inrekko siri'</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">(Perlengkapilah dirimu dengan siri', Kalau tidak ada siri'-mu, pinjamlah siri'.)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><br />
<div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;">Dalam dunia realitas, sering dijumpai seorang manusia Bugis mengorbankan sanak keluarga yang paling dicintainya demi mempertahankan harga diri dan martabatnya di tengah masyarakat. Dalam sejarah disebutkan bahwa di Sidenreng Rappang pada abad XVI, La Pagala Nene Mallomo, seorang hakim (pabbicara), dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab:</div><div style="margin-bottom: 0.5em; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0.5em; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Ade'e temmakeana' temmakke eppo"</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><br />
<div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;">Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah "taro ada taro gau" (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia "munafik" (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh</div><div style="margin-bottom: 0.5em; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0.5em; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></div><div style="text-align: justify;">manusia Bugis.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><br />
<div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;">Adat yang telah merupakan jiwa dan semangat manusia Bugis berlaku umum dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Adat atau panngadereng tidak mengenal kedudukan, kelas sosial, derajat kepangkatan, status sosial ekonomi, dan lain-lain, dalam menjatuhkan sanksi atau hukuman adat terhadap manusia-manusia yang telah melakukan pelanggaran. Dari mana pun asal manusia itu, apakah dia seorang raja, putra mahkota, orang kaya, bangsawan, sama sekali tidak mempunyai hak istimewa dalam kehidupan panngadereng masyarakat Bugis. Kedudukan kelompok elite dan masyarakat biasa diperlakukan sama dalam kehidupan masyarakat. Faktor inilah yang telah menempatkan adat pada tempat yang teratas dalam diri manusia Bugis: "Ade'temmakiana', temmakieppo" (adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu).</div><div style="margin-bottom: 0.5em; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0.5em; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Data tentang bagaimana adat diperlakukan kepada semua kelompok masyarakat, berikut beberapa data historis yang dicatat oleh Abidin sebagai berikut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><br />
<div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;">1. Pada waktu Lamanussa Toakkarangeng menjadi Datu Soppeng, orang-orang Soppeng pernah hampir kelaparan karena kemarau panjang. Beliau menyelidiki sebab-sebab bencana kelaparan itu, tetapi tak ada seorang pejabat kerajaan pun yang melakukan perbuatan sewenang- wenang. Setelah beliau merenung, beliau mengingat bahwa beliau pernah memungut suatu barang di sawah seorang penduduk dan disimpannya di rumahnya sendiri. Perbuatan beliau inilah yang menurutnya menyebabkan mala petaka itu, pikir beliau. Beliau mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri karena tidak ada orang pun yang berani menjatuhkan hukuman kepada diri sang Datu. Hukuman yang dijatuhkan kepada dirinya sendiri adalah berupa denda, yaitu beliau memotong kerbau dan dagingnya dibagikan kepada rakyat. Di hadapan rakyatnya, beliau menyatakan diri bersalah karena telah memungut suatu barang dari sawah seseorang dan menyimpannya sendiri. Beliau mengumumkan barang tersebut di tengah pesta tudang sipulung (duduk bersama), tetapi tak seorang pun yang mengaku telah kehilangan</div><div style="margin-bottom: 0.5em; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0.5em; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"></div><div style="text-align: justify;">sesuatu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. Ketika La Pabbelle' putra Arung Matoa Wajo yang X La Pakoko Topabbele' memperkosa wanita di kampung Totinco, ia dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Raja Bone yang bernama La Ica' dibunuh oleh orang-orang Bone karena kekejamannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">4. Raja Bone yang bernama La Ulio "Bote'" (Sigendut) meninggal diamuk di kampung Utterung, karena dianggap berbuat sewenang-wenang kepada rakyat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">5. Ketika Toangkone Ranreng Bettempola pada abad XV dibuktikan menculik wanita yang bernama We Neba untuk diserahkan kepada temannya Opu Rajeng dari Luwu, maka ia dijatuhi pidana dipecat dengan tidak hormat lalu diusir untuk seumur hidup.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">6. La Temmasonge putra raja Bone La Patau Matanna Tikka pada tahun 1710 dipidana "ripaoppangi tana" (diusir keluar Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung Tiboyong, seorang anggota dewan pemangku adat Bone. Raja Luwu menyingkirkan putrinya (yang terserang penyakit kulit yang menular) dari istina karena atas permintaan rakyat.</div></td></tr>
</tbody></table>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-44377419195783334072011-03-29T12:33:00.000-07:002011-03-29T12:33:02.479-07:00Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi<span class="Apple-style-span" style="color: #111111; font-family: Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 15px;"></span><br />
<div style="line-height: 15px; text-align: left;"><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: #444444; font-family: trebuchet, arial, verdana, sans-serif; font-size: 12px; line-height: normal;"></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Helvetica Neue', Arial, Helvetica, sans-serif;"> </span><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapat</b></span></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>inner power</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b><br />
</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Dalam </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Bugis Religion</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> yang terdapat dalam </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>The Encyclopedia of Religion</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti</b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>bissu</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b><br />
</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>siriq</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep</b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Pangngaderreng</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> ini yaitu, </b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>1) </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>wariq </b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>(sistem protokoler kerajaan)</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>2) </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>adeq</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>(adat-istiadat) </b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>3) </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>bicara</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> (sistem hukum)</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> 4) </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>rapang</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan)</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> 5) </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>saraq</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b><br />
</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara:</b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>mappano bine</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.;</b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>maccéraq tasiq</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> upacara </b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>persembahan dewa laut, </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>ménréq baruga</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; </b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>mattemu taung</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain</b></span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>séré bissu</b></span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b> (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b><br />
</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b><br />
</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b><br />
</b></span></span></div><div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Verdana, sans-serif;"><b>Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.</b></span></span></div><div><span style="font-size: x-small;"><br />
</span></div></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-44036593031773581062011-03-29T12:23:00.000-07:002011-03-29T12:23:14.949-07:00Konsepsi Manusia Bugis-Makassar Dalam Diri JK<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, 'Times New Roman', Times, serif; font-size: 13px;"></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-f1YZLz3IovU/TZIwytlsb5I/AAAAAAAAAeA/orSzo64UigY/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="238" src="http://1.bp.blogspot.com/-f1YZLz3IovU/TZIwytlsb5I/AAAAAAAAAeA/orSzo64UigY/s320/images.jpg" width="320" /></a></div><div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: center;">LANDASAN BERPIKIR MANIFESTO</div><div style="text-align: center;">MANUSIA BUGIS-MAKASSAR</div><div style="text-align: center;">(Sebuah Gagasan Kepemimpinan – Satu Kata dan Perbuatan)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Sejarah panjang perjalanan manusia Bugis-Makassar dimulai sejak kehadiran Tomanurung di Tanah Bugis-Makassar, kehadiran Islam sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang serta kemerdekaan yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perjalanan panjang itu, sebagai suatu masyarakat yang berdaulat, Bugis-Makassar memiliki kekayaan budaya. Wujud kebudayaan disimbolkan dengan sebuah ungkapan yang sangat terkenal di kalangan manusia Bugis-Makassar, yaitu “Toddo Puli Temmalara”.</div><div style="text-align: justify;">Toddo Puli Temmalara mengandung makna seperti yang tergambar dalam konstruk berikut:</div><div style="text-align: justify;">Sadda, mappabati Ada</div><div style="text-align: justify;">Ada, mappabati Gau</div><div style="text-align: justify;">Gau mappabati Tau</div><div style="text-align: justify;">Tau … sipakatau</div><div style="text-align: justify;">Mappaddupa</div><div style="text-align: justify;">Nasaba</div><div style="text-align: justify;">Engkai Siri’ta nennia Pesseta</div><div style="text-align: justify;">Nassibawai</div><div style="text-align: justify;">Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,</div><div style="text-align: justify;">tenricau, maradeka nennia assimellereng</div><div style="text-align: justify;">Makkatenni Masse ri</div><div style="text-align: justify;">Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena</div><div style="text-align: justify;">Alla Taala</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px; text-align: justify;">Berdasarkan konstruk inilah, manusia Bugis-Makassar berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.</div><div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">PENDAHULUAN</div><div style="text-align: justify;">Jika pada sajian ini digunakan istilah “manusia Bugis-Makassar”, maka yang perlu dicatat adalah istilah ini tidak bermaksud mendeskripsikan manusia Bugis-Makassar.</div><div style="text-align: justify;">Deskripsi ini berusaha memberikan suatu konstruk teoretis tentang konsep jati diri manusia Bugis-Makassar menurut paham Max Weber, yakni “bebas” dari realitas. Jadi, gambaran tentang manusia yang dideskripsikan pada paparan ini adalah sesuatu yang abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga manusia Bugis-Makassar. Gambaran itu merupakan hasil dari pengalaman, penghayatan, yang selanjutnya dikonstruksikan secara analitik.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">KONSTRUK MANUSIA BUGIS-MAKASSAR</div><div style="text-align: justify;">Dari data yang ditemukan dalam kepustakaan Bugis-Makassar serta hasil-hasil kajian para cendekiawan manusia Bugis-Makassar dapat dikonstruksikan sebagai berikut:</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Sadda, mappabati Ada</div><div style="text-align: justify;">(Bunyi mewujudkan kata)</div><div style="text-align: justify;">Ada, mappabati Gau</div><div style="text-align: justify;">(Kata mewujudkan Perbuatan)</div><div style="text-align: justify;">Gau, mappabati Tau</div><div style="text-align: justify;">(Perbuatan Mewujudkan Manusia)</div><div style="text-align: justify;">Tau … sipakatau</div><div style="text-align: justify;">(Manusia Memanusiakan Manusia)</div><div style="text-align: justify;">Mappaddupa</div><div style="text-align: justify;">(Membuktikannya dalam Dunia Realitas)</div><div style="text-align: justify;">Nasaba</div><div style="text-align: justify;">(Karena)</div><div style="text-align: justify;">Engkai Siri’ta nennia Pesseta</div><div style="text-align: justify;">(Kita Memiliki Siri dan Pesse)</div><div style="text-align: justify;">Nassibawai</div><div style="text-align: justify;">(Disertai dengan)</div><div style="text-align: justify;">Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,</div><div style="text-align: justify;">tenricau, maradeka nennia assimellereng</div><div style="text-align: justify;">(Kesucian hati, kejujuran, keteguhan, keberanian, kerja keras dan ketekunan, kecendekiaan, daya saing yang tinggi, kemerdekaan, kesolideran)</div><div style="text-align: justify;">Makkatenni Masse ri</div><div style="text-align: justify;">(Berpegang teguh pada)</div><div style="text-align: justify;">Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena</div><div style="text-align: justify;">(Panngadereng serta bertawakal kepada)</div><div style="text-align: justify;">Alla Taala</div><div style="text-align: justify;">(Kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Hal inilah yang menimbulkan dorongan kuat yang menampilkan pribadi yang teguh dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan yang terjelma sebagai sikap, prilaku dan temperamen, baik pada individu maupun pada kelompok masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">Ada atau kata itu digunakan manusia untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran tentang suatu benda atau tindakan. Jadi, “ada mappabati gau” mengandung makna bahwa bunyi-bunyi yang terwujud berupa kata yang dicetuskan oleh manusia harus serasi dengan tindakan dalam dunia realitas. Bagi manusia Bugis-Makassar keserasian antara perkataan dan perbuatan (ada na gau) adalah perwujudan dirinya sebagai tau (manusia). Dengan kata lain, individu yang tidak menyerasikan antara perkataan dan tindakannya berarti melanggar etika dan martabat kemanusiaan “ia ada ia gau, taro ada taro gau’ adalah ungkapan yang menegaskan pendirian manusia Bugis-Makassar untuk selalu menyerasikan antara “perkataan” dan “perbuatan”.</div><div style="text-align: justify;">Dalam pandangan etika Bugis-Makassar perbuatan individu tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya karena dilandasi suatu prinsip pemuliaan martabat manusia yang dalam ungkapan Bugis-Makassar disebut “Tau Sipakatau”. Seseorang dapat disebut manusia kalau ia dapat menempatkan dirinya sebagai “tau” yang berarti bahwa “kata dan prilakunya itu mendudukkan posisi manusia pada posisi sebagai manusia yang bermartabat. Prinsip “Tau Sipakatau” itu merupakan pangkal bagi segala sikap dan tindakan manusia Bugis dalam hidupnya. Jadi, semuanya berpusat pada manusia itu sendiri. Manusia (tau) lah yang menjadi penanggungjawab atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.</div><div style="text-align: justify;">Menurut Mattulada (1996) harkat dan martabat yang menjadi “syirrun” atau “asrar” yang berarti hakikat seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya berarti “siri”, juga bermakna kalbu atau nurani manusia. Siri itulah menjadi fokus bagi segala upaya manusia merealisasi diri dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya. Siri pulalah yang membawanya ke dalam interaksi sosial, yang secara bersama terikat dalam “Pesse”, yang berarti daya dorong yang kuat untuk mengambil tindakan “Siri”. Karena itu, apabila terjadi masalah “Siri”, maka sebagai wujud kendalinya adalah kadar “Pesse” yang ada pada diri setiap individu. Individu yang memiliki nyali yang besar akan mengambil langkah yang besar pula, sedangkan individu yang memiliki nyali yang kecil akan bertindak pula sesuai dengan kadar nyalinya. “Siri” dan “Pesse” adalah dua unsur yang memiliki muatan utama atau keutamaan pada “Tau”, manusia secara individu.</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan pandangan itu terwujudlah performansi khas manusia Bugis-Makassar yang tersimpul dalam sebuah frase atau ungkapan, yaitu: TODDO PULI TEMMALARA. Toddo Puli bermakna tertancap dengan kuat, berketetapan hati secara sungguh-sungguh; temmalara bermakna tidak goyah. Jadi, toddo puli temmalara berarti berketetapan batin yang kuat dan tidak tergoyahkan.</div><div style="text-align: justify;">a. Toddo Puli Temmalara ri Wawang Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng (Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Ati mapaccing berarti bawaan hati yang baik. Manusia Bugis-Makassar dan manusia Bugis pada umumnya menjadikan bawaan hati, niat atau pikiran yang baik sebagai “perisai” dalam kehidupan. Dalam Paseng disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">“Duai Kuala Sappo, unganna panasae, belo kanukue.” (Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)</div><div style="text-align: justify;">Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis-Makassar, hati dan pikiran yang baik akan menghasilkan kebaikan dalam kehidupan. Dalam Lontara disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">Empat hal yang membawa kepada kebaikan:</div><div style="text-align: justify;">a. Pikiran yang benar,</div><div style="text-align: justify;">b. Jualan yang halal,</div><div style="text-align: justify;">c. Melaksanakan perbuatan benar,</div><div style="text-align: justify;">d. Berhati-hati menghadapi perbuatan buruk</div><div style="text-align: justify;">Dalam kehidupan sehari-hari manusia Bugis-Makassar, harus selalu bersikap waspada terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat melunturkan niat atau bawaan hati yang baik karena niat yang baik kadang-kadang dapat terkalahkan oleh dorongan-dorongan nafsu keserakahan dan buruk lainnya, yang selanjutnya membangkitkan niat-niat yang jahat. Dalam Paseng disebut: Empat macam yang memburukkan niat dan pikiran, yaitu (i) kemauan, (ii) ketakutan, (iii) keengganan, dan (iv) kemarahan.</div><div style="text-align: justify;">Di samping hati yang tulus, bawaan hati dan pikiran yang baik, yang menjadi perisai dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar. Lempu (lurus, kejujuran) lawan katanya adalah jekko (bengkok, culas, curang, dusta, khianat, seleweng, tipu, dan semacamnya). Menurut Lontara, manusia yang jujur memiliki empat ciri, yaitu: (i) ia dapat melihat kesalahannya sendiri, (ii) mampu memaafkan kesalahan orang lain, (iii) kalau ia diberi kepercayaan untuk menangani suatu urusan, ia tidak berhianat, dan (iv) ia menepati janji yang diucapkan.</div><div style="text-align: justify;">Bagi manusia Bugis-Makassar, orang yang jujur adalah manusia yang menjadikan dirinya sebagai titik tolak. Dalam ungkapan disebutkan: Kabbecci alemu iolo inappa mukabbecci taue lainnge (cubit dirimu lebih dahulu sebelum engkau mencubit orang lain). Dalam ungkapan lain disebutkan: Apabila engkau menghendaki agar sesuatu dikerjakan orang banyak, umpamakanlah perahu, apabila engkau suka menaikinya, perahu itulah yang engkau gunakan untuk memuat orang lain, itulah yang dimaksud kejujuran. Maksud kutipan ini adalah setiap orang haruslah bersikap fair. Orang yang jujur selalu memperlakukan orang lain menurut standar yang diharapkan dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati orang lain, sebagaimana ia menghormati dirinya sendiri. Ia menghormati hak-hak orang lain sebagaimana ia menghormati hak-haknya. Manusia yang dapat berlaku jujur terhadap orang lain adalah manusia yang dapat berlaku jujur pada dirinya sendiri.</div><div style="text-align: justify;">b. Toddo Puli Temmalara ri Assimellerennge</div><div style="text-align: justify;">(Teguh tak Tergoyahkan pada Persaudaraan)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Assimellereng mengandung makna kesolideran, kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, atau antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang juga dikenal dengan konsep sipa’depu-repu (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak keluarga, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette perru.</div><div style="text-align: justify;">Bagi manusia Bugis-Makassar, kesetiaan pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam kehidupan sehari-hari, manisfestasi tentang kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan: Tejjali tettappere banna mase-mase (Kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada Tuan: tiada permadani, sofa empuk untuk mendudukkan Tuan. Yang kami miliki hanyalah kasih sayang). Bagi manusia Bugis-Makassar menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai seorang tuan rumah sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi tetamunya, padahal dia sendiri tidak melakukannya dalam kehidupanya sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-mata untuk memberikan yang terbaik kepada saudaranya, sesamanya.</div><div style="text-align: justify;">Adapun syarat eratnya persaudaraan itu meliputi 5 hal, yaitu;</div><div style="text-align: justify;">(1) mau sependeritaan,</div><div style="text-align: justify;">(2) sama-sama merasakan kegembiraan,</div><div style="text-align: justify;">(3) rela memberikan harta benda sewajarnya,</div><div style="text-align: justify;">(4) ingat mengingatkan pada hal-hal yang benar, dan</div><div style="text-align: justify;">(5) selalu saling memaafkan. Dasar persaudaraan itu dapat terlimpul dalam ungkapan berikut.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Mali siparappe, malilu sipakainge</div><div style="text-align: justify;">Sirebba tannga tessirebba pasorong</div><div style="text-align: justify;">Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong</div><div style="text-align: justify;">Siwata menre, tessirui no.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">(Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,</div><div style="text-align: justify;">Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata</div><div style="text-align: justify;">Saling mengangkat dan tak saling menjatuhkan)</div><div style="text-align: justify;">Berbeda pendapat, tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Dalam Mapalina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Sawerigading sebagai tokoh sentral dalam cerita menunjukkan kesetiakawanan yang sangat tinggi seperti tertera dalam kutipan berikut:</div><div style="text-align: justify;">… janganlah ada di antara kita sudi kembali ke Bugis-Makassar sebagai mayat hidup. Satu nyawa bagi kita bersama, …</div><div style="text-align: justify;">Pada kutipan itu tergambar bahwa kesetiakawanan adalah segala-galanya, walaupun nyawa sebagai taruhannya.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">c. Toddo Puli Temmalara ri Resoe</div><div style="text-align: justify;">(Teguh tak Tergoyahkan pada Usaha)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Reso berarti usaha dan tinulu berarti tekun. Dalam ungkapan disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">Resopa natinulu kuae topa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata</div><div style="text-align: justify;">(Hanya dengan usaha/kerja keras disertai dengan ketekunan sering menjadi titian rahmat Ilahi).</div><div style="text-align: justify;">Ungkapan itu memberi petunjuk bagi manusia Bugis-Makassar bahwa tidak akan ada rizki yang melimpah tanpa disertai dengan kerja keras. Artinya, untuk mendapatkan rizki (dalle) tidak dapat diperoleh dengan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Rizki tidak boleh diperoleh dengan meminta-minta atau mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Dalam ungkapan lain disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">“Wahai anak-anak! Tidak adakah pekerjaannmu sehingga engkau tinggal nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak ada, pergilah ke Baruga (balai pertemuan) mendengar soal adat, ataukah ke pasar mendengar warkah para penjual”.</div><div style="text-align: justify;">Ungkapan di atas memberi himbauan kepada para pemuda untuk mencari bekal hidup (life skill) berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat menjadi modal hidup untuk berusaha. Selanjutnya, dalam ungkapan yang berbeda ditekankan:</div><div style="text-align: justify;">“Janganlah membiasakan dirimu pada empat jenis perbuatan: (1) meminta-minta, (2) meminjam-minjam, (3) memperoleh upah dari suruhan orang lain, dan (4) menumpang makan pada orang lain”.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Ungkapan di atas menunjukkan ajaran kemandirian. Perbuatan meminta-minta, meminjam, memperoleh upah dari suruhan orang lain, serta menumpang makan di rumah orang lain termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Setiap orang haruslah berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mendapatkan rizki yang halal (massappa dalle hallala). Manusia Bugis-Makassar harus yakin (toddo puli) bahwa dalam meniti kehidupan, keberhasilan hanya dapat diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan serta memanfaatkan akal pikiran atau ilmu pengetahuan.</div><div style="text-align: justify;">Seorang lelaki pemalas, enggan bekerja keras, atau tidak mempunyai kepandaian dan keterampilan hidup amat tercela dalam adat Bugis-Makassar. Orang yang demikian itu tidak dipandang sebagai pria, tetapi dipandang sebagai banci. Dalam ungkapan disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">Empat macam sifat lelaki sehingga ia dipandang sebagai wanita dan tidak diperhitungkan sebagai lelaki, yaitu: (1) ia pemalas, (2) ia lemah, (3) ia dungu, dan (4) ia bodoh. Dalam ungkapan ini tergambar dengan jelas bahwa, ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta ketekunan berusaha dalam meniti kehidupan ini sangat diperlukan. Dengan demikian, seorang yang memperoleh harta benda dengan cara yang tidak benar seperti bertindak korup sangat tercela dalam adat Bugis-Makassar dan Bugis pada umumnya. Hal ini tergambar pada ketetapan Sawerigading untuk selalu menjaga nama baik negeri Bugis-Makassar pada saat ia ditawarkan untuk berdamai dengan raja di negeri Saliweng Langi, Guttu Tellamma. Guttu Tellemma menawarkan hadiah berupa sejumlah harta benda berharga kepada Sawerigading asal Sawerigading mau melupakan pertikian di antara mereka. Tetapi, Sawerigading menolak menerima tawaran itu. Dia pantang menerima suap dari mana pun.</div><div style="text-align: justify;">Usaha keras dan kegigihan untuk mencapai keberhasilan tergambar pula dalam peristiwa ’Perang-perang Makassar melawan V.O.C Belanda’.. Walaupun Sultan Hasanuddin harus ditundukkan dalam Perjanjian ’Bongaya’.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">d. Toddo Puli Temmalara ri Panngaderennge</div><div style="text-align: justify;">(Teguh tak Tergoyahkan pada Panngadereng)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Panngadereng, yaitu Ade (adat), Rapang (undang-undang), Wari (aturan perbedaan pangkat kebangsaan), Bicara (ucapan, bicara), dan Syara (hukum syariat Islam). Yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut adalah asas.</div><div style="text-align: justify;">(1) Mappasilassae, diwujudkan dalam manisfestasi ade agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam panngadereng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya, ia menyatakan diri dalam usaha-usaha mencegah sebagai tindakan penyelamatan.</div><div style="text-align: justify;">(2) Mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk keberlangsungan pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilitas perkembangan yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam rapang.</div><div style="text-align: justify;">(3) Mappallaiseng diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembaga-lembaga sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketiadaan ketertiban, dan kekacaubaluan. Hal ini dinyatakan dalam wari dalam segala variasi perlakuannya</div><div style="text-align: justify;">(4) Mappasisaue, diwujudkan dalam manisfestasi ade untuk menimpakan deraan pada setiap pelanggaran ade yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini adanya pedoman legalitas dan represif yang sangat konsekuen dijalankan. Di samping itu asas ini dilengkapi dengan siariawong yang diwujudkan dalam manifestasi ade untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik setiap orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Syara adalah aturan syariat Islam yang menjadi unsur panngadereng.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Bagi masyarakat Bugis-Makassar dan Bugis pada umumnya, panngadereng merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena:</div><div style="text-align: justify;">(1) Manusia Bugis-Makassar telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial budayanya dan telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada panngaderenglah ketenteraman dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin.</div><div style="text-align: justify;">(2) Sistem sosial berdasarkan ketetapan panngadereng telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis-Makassar. Mereka percaya dan sadar bahwa hanya dengan panngaderenglah pola hidupnya, kepemimpinannya serta segala bentuk interaksi sosialnya dapat terwujud.</div><div style="text-align: justify;">(3) Di dalam pangngadereng terdapat unsur kepercayaan yang hakiki yang harus ditaati. Karena dengan pangngadereng itulah, pola tingkah laku yang terbimbing sehingga pemimpin dapat bersikap lebih jujur, arif, serta berpihak kepada orang banyak.</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px; text-align: justify;">Bagi masyarakat Bugis-Makassar, adat adalah segala-galanya. Seseorang hanya tunduk pada peraturan-peraturan adat menurut hukum-hukum yang yang telah disepakati. Adat menjamin kebebasan mereka dan tidak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan adat. Masyarakat bersama-sama dengan pemimpinnya menentukan nasib masa depannya. Perlakuan sewenang-wenang dari seorang penguasa tidak mendapat tempat dalam sistem panngadereng. Bagi masyarakat Bugis-Makassar dan Bugis pada umumnya adat adalah tuannya, bukan penguasa. Baik pemimpin maupun masyarakat harus tunduk dan taat pada adat atau hukum yang berlaku.</div><div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">e. Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae</div><div style="text-align: justify;">(Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak)</div><div style="text-align: justify;">Lontara telah menempatkan manusia pada posisi yang amat penting. Ia menempati sebagai posisi subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, rakyat adalah segala-segalanya. Bilamana dalam suatu perkara, terdapat ketidaksepahaman di antara pemimpin dan masyarakat, maka hal itu harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam sebuah ungkapan disebutkan:</div><div style="text-align: justify;">Rusa taro arung, tenrusa taro ade,</div><div style="text-align: justify;">Rusa taro ade, tenrusa taro anang,</div><div style="text-align: justify;">Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega</div><div style="text-align: justify;">(Batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adat,</div><div style="text-align: justify;">Batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum,</div><div style="text-align: justify;">Batal ketetapan kaum, tak batal ketetapan orang banyak (rakyat)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px; text-align: justify;">Selanjutnya, konstruk teoretis yang telah tertanam dalam alam pikiran masyarakat pada umumnya harus mendapat tempat yang layak dalam dunia realitas, mulai dari pemimpinnya sampai kepada masyarakatnya.</div><div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px; text-align: justify;">Assimellereng yang mengandung makna kesolideran, kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, atau antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang juga dikenal dengan konsep sipa’depu-repu (saling memelihara). Bagi manusia Bugis-Makassar, kesetiaan pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam kehidupan sehari-hari, manisfestasi tentang kesehatian dan kerukunan. Bagi manusia Bugis-Makassar menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai seorang tuan rumah sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi tetamunya, padahal dia sendiri tidak melakukannya dalam kehidupanya sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-mata untuk memberikan yang terbaik kepada saudaranya, sesamanya.</div><div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px; text-align: justify;">Pembentukan Entitas Manusia Bugis-Makassar di Nusantara</div><div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Figur ketokohan yang memperlihatkan kepada dunia ’entitas Manusia Bugis-Makassar’ yang sangat kuat dan tegas dalam prinsip, sangat arif dan bijak dalam falsafah hidup serta sangat mumpuni sebagai pemimpin yang konsisten antara ’kata’ dan ’perbuatan’. Telunjuk bukan untuk ditudingkan kehadapan siapa saja, melainkan bahasa tubuh yang memperlihatkan sebuah hakikat diri Manusia Bugis-Makassar yang sangat berpegang teguh pada prinsip, sebagaimana ungkapan berikut :</div><div style="text-align: justify;">Bulu temmaruttunna Alla Taala kuonroi maccalinrung;</div><div style="text-align: justify;">Engkaga balinna Alla Taala na engka balikku;</div><div style="text-align: justify;">Mettekka tenribali, massadaka tenri sumpala</div><div style="text-align: justify;">(Gunung yang kokoh kuat milik Allah Yang Maha Tinggi yang kutempati berlindung;</div><div style="text-align: justify;">Tidak ada yang dapat menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa;</div><div style="text-align: justify;">Kalau saya berbicara, tidak ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat, tidak ada lagi yang bisa menyanggah)</div><br />
<div style="font-size: 13px; line-height: 20px !important; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 8px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 8px;"></div><div style="text-align: justify;">Kekalahannya pada Perang Makassar dan ditundukkan oleh ’Perjanjian Bongaya’ bukanlah akhir dari runtuhnya sebuah peradaban Manusia Bugis-Makassar dalam berperadaban.</div><div style="text-align: justify;">Namun, akhir dari perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru menjadi awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang-orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi justru banyak dimotori oleh kalangan bangsawan.</div><div style="text-align: justify;">Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia.</div><div style="text-align: justify;">Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi. Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak-perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”</div><div style="text-align: justify;">Di tempat yang baru, orang-orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial-politik lokal. Sebutlah seperti di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam sekalipun.</div><div style="text-align: justify;">“Sampai abad XVIII, para prajurit ganas dari Makassar ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Semoga bahasan ini ada manfaatnya.</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-69304108846087454522011-03-27T19:37:00.000-07:002011-03-27T19:37:01.525-07:00Arung Palakka Pahlawan dari Bone<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-SvFg-E-UpHk/TY_zjbAsBsI/AAAAAAAAAdk/wpBUQex_ZO8/s1600/ARUNG+PALAKKA.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-SvFg-E-UpHk/TY_zjbAsBsI/AAAAAAAAAdk/wpBUQex_ZO8/s1600/ARUNG+PALAKKA.jpg" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-SvFg-E-UpHk/TY_zjbAsBsI/AAAAAAAAAdk/wpBUQex_ZO8/s1600/ARUNG+PALAKKA.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a><span class="Apple-style-span" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 1px; -webkit-border-vertical-spacing: 1px; font-family: verdana, arial, helvetica; font-size: 11px;"><b><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: red;">ARUNG PALAKKA PETTA MALAMPEE GEMME’NA</span></span></i></span></span></b></span></div><span class="Apple-style-span" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 1px; -webkit-border-vertical-spacing: 1px; color: #b76e32; font-family: verdana, arial, helvetica; font-size: 11px;"></span><br />
<div style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;"><b><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><br />
</span></i></span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">1.Da Unggu (putri)<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">3.Latenri Girang (putra)<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">5.Da Emba (putri), dan<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">6.Da Umpi Mappolobombang (putri)<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">4. Da Ompo<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p></span></i></span></span><b><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Situasi Tahun 1646<o:p></o:p></span></i></span></span></b><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut. Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran</span></i></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"> </span></i></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa<span></span>yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai</span></i></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"> </span></i></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.</span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai</span></i></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"> </span></i></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan</span></i></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"> </span></i></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">tuannya itu.<span></span><span></span><span></span><o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.</span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah<span></span>hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.</span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang</span></i></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"> </span></i></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;">Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut.<o:p></o:p></span></i></span></span></div><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif;"><o:p></o:p>Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri. (Sumber : Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan samapai tahun 1905).<br />
(Ditulis Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si.)</span></i></span></span>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-70613782539596036302011-03-27T19:24:00.000-07:002011-03-27T19:24:07.027-07:00Lamellong diplomat dari Bone<span class="Apple-style-span" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 1px; -webkit-border-vertical-spacing: 1px; color: #b76e32; font-family: verdana, arial, helvetica; font-size: 11px;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 11px;">L</span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">amellong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">(1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Tentang Lamellong di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat tentang buah pikirannya yang menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis Bone disebut “Pangngadereng”.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatua” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">3.Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">4.Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Gelar Kajao</span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Karena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka Lamellong diberi gelar <span></span>penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516).<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Sejak kecil dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang.. Bakat-bakat istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Gowa telah berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan. Hanya Kerajaan Bonelah yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua kerajaan yang berseteru berdamai.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao lalliddong diangkat menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan Bone,Soppeng, dan Wajo yang disebut Perjajnjian LamumpatuE ri Timurung tahun 1582.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini :<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone : Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae. Artinya : dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><o:p></o:p>Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span lang="IN"><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">1.</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span></span></span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span lang="IN"><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">2.</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span></span></span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span lang="IN"><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">3.</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span></span></span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Raja harus jujur dalam segala tindakan.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><o:p></o:p>Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada “Pangngadereng” (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">1.ADE</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span lang="IN"><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">a.</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span></span></span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanenatau menetap dengan sukar untuk diubah.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span lang="IN"><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">b.</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span></span></span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span lang="IN"><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">c.</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span></span></span><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></b></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">2.BICARA</span></span></span></span></b></div><div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></b></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">3.RAPPANG</span></span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">4.WARI</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><o:p></o:p><span></span>Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponenpangngadereng (Ade, Bicara, rapang, dan wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Saat-saat Terakhir dalam Hidupnya</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><o:p></o:p><span></span>Mengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun, maka banyak yang berpendapat, bahwa pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada dalam wilayah wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.<o:p></o:p></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Rohaniawan” (Bissu) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak sebagai layaknya seorang perempuan.</span></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai dengan peristiwa “Mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong menyatakan “Mallajang” (menghilang).<o:p></o:p></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Versi kedua menyatakan di saat usia Kajao lalliddong bertambah uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.<o:p></o:p></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini, menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa yang ditandai sebuah batu sebagai nisan. Nanti pada suatu saat beberapa turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehinnga sekaran nampak lebih unik dari kuburan lainnya.<o:p></o:p></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua. Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di masa hidupnya. Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar kuburan Kajao Lalliddong samapai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.<o:p></o:p></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang istimewa tentang ilmu kebatinan. Bahkan masyarakat banyak menganggap Kajao Lalliddong memilki berkah, sehinnga setiap saat dikunjungi oleh banyak orang.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Tongkat Lamellong</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" face="arial" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><br />
</span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Di dusun Lamellong</span></span></span><span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"> </span></span></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekaran masih nampak berdiri dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah tongkat Lamellong.<o:p></o:p></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;"><span></span>Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon” Nyelle “ yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah. Ternyata tongkat kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu masih ada. Bahkan poho besar itu dijadikan penanda oleh penduduk setempat kapan mulainya musim tanam jagung. Menurut para petani di kampung Lalliddong apabila pohon nyelle itu sudah betul-betul rimbun maka tibalah saatnya menanam jagung. Selain itu pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari daratan sudah kelihatan, puncak pohon ini sayup-sayup melambai.<o:p></o:p></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><span lang="IN"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="Apple-style-span" style="color: #f3f3f3;">Benar atau tidak, yang jelas bahwa pohon nyelle tersebut yang diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat Lamellong, masih dapat disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat setempat menganggap pohon besar itu “angker”<br />
(Ditulis Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si.)</span></span></span></span>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-32285862285545096462011-03-24T12:20:00.000-07:002011-03-24T12:20:51.081-07:00''Keberanian Orang Bugis-Makasar''<div style="text-align: justify;">Ada yang menjadi prinsip hidup bagi orang<br />
bugis Makassar yakni jiwa keberanian<br />
dalam mengungkapkan suatu kebenaran.<br />
Tentunya kebenaran dalam konteks<br />
kemaslahatan hidup orang banyak. Mereka<br />
tak pandang bulu dalam menegakkan<br />
kebenaran apapun yang terjadi. Sampai ada<br />
istilah “to warani” yaitu pemberani.<br />
Sikap ini adalah sebuah karakter bawaan<br />
orang Sulawesi selatan khususnya suku<br />
Bugis-Makassar yang berlangsung turun<br />
temurun dari nenek moyang mereka.<br />
Prinsip ini telah dibuktikan oleh pejuang<br />
asal Sulawesi Selatan yakni Sultan<br />
Hasanuddin hingga di gelar “ayam jantan<br />
dari timur” atau jangang lakiya battu<br />
iraya dan juga Arung Palakka yang dikenal<br />
pemberani dari Tanah Bone dalam berjuang<br />
melawan Belanda.<br />
Selain itu juga ada Syech Yusuf Al<br />
Maqassari ”, dengan kebulatan<br />
keberaniannya ia merantau meninggalkan<br />
Tanah Sulawesi Selatan menuju Afrika,<br />
untuk memberikan semangat atas<br />
penindasan bangsa Eropa. Tak ketinggalan<br />
juga ada Karaeng Galesong sebagai seorang<br />
pemberani, yang berangkat ke Tanah Jawa<br />
membantu Pangeran Antsari berjuang<br />
melawan Belanda. Tokoh-tokoh inilah yang<br />
memberikan bukti sejarah bahwa orang<br />
bugis Makassar adalah pemberani. Atas<br />
keberaniannya itu sempat membawa nama<br />
Sulawesi Selatan dalam kancah lokal,<br />
nasional bahkan internasional.<br />
Belum lagi jika kita melihat sejarah dalam<br />
bidang kelautan. Pelaut asal bugis Makassar<br />
ini dengan keberaniannya mereka berlayar<br />
dengan menggunakan perahu phinisi<br />
mengelilingi dunia. Sampai kita kenal nama<br />
Dg. Mangalle, seorang pelaut yang berlayar<br />
menahkodai perahu phinisi ini dengan<br />
membawa pasukan 250 orang yang<br />
sempat melakukan pemberontakan di<br />
kerajaan shiam di Thailand akibat konflik<br />
dengan Konstantin Fhaulkon.<br />
Jika ditelisik melalui kajian psikologi,<br />
keberanian (brave) itu idealnya adalah<br />
bawaan setiap orang untuk bisa menjadi<br />
pemberani. Keberanian itu adalah bagian<br />
dari keyakinan yang kuat kepada Sang<br />
Pencipta. Logikanya kenapa harus takut<br />
kalau kita yakin kepada Tuhan. Dia maha<br />
segalanya. Tiada yang menandinginya.<br />
Tiada yang harus di takutkan kecuali Tuhan.<br />
Siapa yang mengenal dirinya, pastilah dia<br />
mengenal Tuhan-nya. Sikap dan keyakinan<br />
inilah yang terbawa oleh orang bugis<br />
Makassar dalam memahami sebuah prinsip<br />
hidup sehingga mereka menjadi<br />
pemberani.<br />
Saya teringat ada seorang pejuang di tahun<br />
1945 yang sangat di kenal di Sulawesi<br />
Selatan, yakni almarhum Usman Balo.<br />
Beliau adalah termasuk salah seorang<br />
penjuang bugis asal Sidrap yang sangat<br />
“ pemberani”. Hingga sempat di juluki<br />
“balo” na sidenreng. Semasa hidupnya,<br />
Usman Balo sangat di kenal sebagai tokoh<br />
kharismatik yang sangat disegani.<br />
Kebetulan sewaktu beliau masih hidup,<br />
saya selalu sempatkan bertemu dengannya<br />
karena almarhum Usman Balo ini adalah<br />
masih saudara dengan almarhum Bapak<br />
Saya. Dan saya pikir wajarlah jika saya<br />
sering bersilaturahmi sekaligus ingin<br />
mengetahui sejauh mana ketokohannya<br />
yang pemberani dan kharismatik itu.<br />
Beliau sempat berpesan kepada saya.<br />
Bahwa “mengapa harus takut, yang kita<br />
takut hanya satu yaitu Tuhan…!” semua<br />
manusia pasti akan mati”. Prinsip inilah<br />
yang saya selalu ingat dari Usman Balo.<br />
Juga ada kata-kata yang ia selalu pegang<br />
dan di jadikan prinsipnya hingga akhir<br />
hayatnya adalah “Iya ada iya gau”. Apa<br />
yang di ucapkan, harus di buktikan. Inilah<br />
harga mati bagi seorang Usman Balo<br />
semasa hidupnya hingga di kenal sebagai<br />
tokoh pemberani dari Sulawesi Selatan.<br />
Bahkan Presiden Soekarno waktu itu<br />
sempat menaruh perhatian kepadanya.<br />
Melihat hal tersebut, orang Bugis –<br />
Makassar tidak saja terkenal keberaniannya,<br />
tetapi juga di landasi dengan pribadi-<br />
pribadi yang cerdas dan pintar. Kecerdasan<br />
orang Bugis-Makassar mungkin disebabkan<br />
karena mungkin mereka sangat suka<br />
mengkonsumsi ikan dan hasil-hasil laut<br />
lainnya. Disamping rata-rata mata<br />
pencarian orang Bugis Makassar adalah<br />
nelayan. Bagi mereka, ikan adalah sebuah<br />
kebutuhan pokok sehari-hari mereka.Ikan<br />
adalah sumber protein dan juga beberapa<br />
zat-zat gizi yang ada di dalamnya. Yang<br />
bisa menstimulasi hormon yang diperlukan<br />
oleh tubuh. Barangkali bisa jadi hormon<br />
kejantanan. Dengan mengkonsumsi ikan<br />
yang banyak, bisa memberikan kecerdasan<br />
diatas kecerdasan tanpa makan ikan atau<br />
hasil hayati lainnya.<br />
Lebih lanjut, bahwa keberanian orang Bugis<br />
Makassar sangat di tunjang dengan<br />
kecerdasan yang mereka miliki. Bukannya<br />
keberanian tanpa dasar yang membawa<br />
sifat-sifat anarkisme dan kekerasan.<br />
Substansi keberanian mereka itulah biasa<br />
di sebut “macca”. Bahkan dalam<br />
menyelesaikan suatu persoalan, mereka<br />
takkan mundur ketika persoalan itu belum<br />
menemukan satu solusi. Kita bisa ambil<br />
contoh, mantan Wapres Jusuf Kalla.<br />
Dengan keberanian dan kecerdasannya<br />
yang powefull, ia mampu menyelesaikan<br />
berbagai konflik di tanah air. Diantaranya<br />
kasus Aceh, Poso, Ambon, dsb. Seorang JK<br />
sangat tahu kadar dan bingkai yang harus<br />
beliau lakukan demi kemaslahatan hidup<br />
bangsa ini. Semua itu beliau lakukan<br />
dengan penuh keberanian tanpa ada pihak<br />
yang dirugikan.<br />
Quo Vadis Keberanian Bugis Makassar<br />
Dengan melihat kajian tersebut diatas,<br />
timbul pertanyaan yang sangat<br />
menggelitik. Bahkan memalukan bagi<br />
sebagian kalangan dan tokoh-tokoh<br />
masyarakat asal Sulawesi Selatan baik yang<br />
berkacah di pusat maupun yang berada di<br />
kampung halaman sendiri yakni maraknya<br />
aksi-aksi brutal yang dilakukan mahasiswa<br />
di Makassar, apakah masih pantas bagi<br />
mahasiswa-mahasiswa itu sebagai<br />
generasi penerus bangsa di katakan<br />
pemberani yang menjunjung tinggi<br />
kecerdasan dan intelektualisme? Mungkin<br />
sebagain besar dari mereka beranggapan<br />
bahwa aksi-aksi yang mereka lakukan itu<br />
adalah salah satu jiwa patriotisme dalam<br />
menegakkan kebenaran. Padahal seperti<br />
yang saya ulas diatas, mereka lupa bahwa<br />
jiwa heroik atau pemberani itu adalah<br />
adalah tidak bisa di pahami sepenggal-<br />
sepenggal. Ia harus dipahami secara utuh<br />
dan ketuhan itu harus bulat.<br />
Muncullah sebuah penghayatan dalam<br />
keberanian itu. Yang di dalamnya ada<br />
kecerdasan termasuk kedamian dan kasih<br />
sayang. Rasa-rasanya, hal ini menjadi pe-er<br />
buat kita semua. Secara umum, indikasi<br />
lunturnya rasa keberanian masyarakat<br />
Bugis Makassar, yang di contohkan oleh<br />
kebrutalan dan anarkisme mahasiswa di<br />
Makassar ini antara lain di sebabkan.<br />
Pertama, tidak adanya lagi sosok pemimpin<br />
yang benar-benar bisa dijadikan panutan.<br />
Minimal setiap persoalan yang<br />
mengemuka, seorang pemimpin sudah bisa<br />
merasakan ketika adanya bias-bias dari<br />
bawah jika akan terjadi sesuatu. Apa yang<br />
di rasakan oleh rakyatnya, bisa dirasakan<br />
olehnya. Pemimpin seperti inilah yang<br />
diharapkan memiliki rasa keberanian yang<br />
kuat untuk melindungi rakyatnya. Sehingga<br />
akan muncul kharismatik dan “rasa”<br />
kecintaan dan di cintai oleh rakyatnya.<br />
Bagaimana ia menjiwai semua yang ada di<br />
sekelilingnya dalam menyelesaikan<br />
berbagai persoalan.<br />
Kedua, etika dan estetika yang selama ini<br />
selalu di junjung tinggi oleh orang Bugis<br />
Makassar yang merupakan kearifan lokal<br />
turun temurun tidak lagi di jadikan sebagai<br />
sebuah dasar dalam tatana hidup<br />
bermasyarakat. Padahal di dalam etika<br />
estetika seperti yang tersurat di dalam<br />
“ lontara”, mengandung nilai-nilai<br />
spiritual yang sangat dalam. Bagaiamana<br />
manusia bisa mengenal dirinya secara utuh<br />
dan juga Sang Pencipta. Dan jika di kaji<br />
lebih jauh, dalam lontara ini semua tatana<br />
hidup bermasyarakat ada di dalamnya.<br />
Ketiga, pudarnya jiwa pemberani orang<br />
Bugis Makassar juga dikarenakan faktor<br />
akses teknologi informasi yang begitu<br />
cepat, seiring dengan peradaban dunia<br />
secara global. Semua bisa terakses dengan<br />
begitu mudah. Mulai dari kebutuhan pokok,<br />
hiburan, dan apa saja semuanya dengan<br />
instan bisa di peroleh dengan mudah.<br />
Budaya konsumtif orang Bugis Makassar ini<br />
adalah salah satu pemicu menurunnya<br />
mentalitas keberanian yang ada pada<br />
mereka. Dunia materialisme membawa<br />
manusia lupa akan segala-galanya.<br />
Keempat, kurang fokusnya perhatian<br />
pemerintah di Sulawesi Selatan untuk<br />
melihat masalah ini sebagai sebuah<br />
masalah yang sangat penting. Menyangkut<br />
kehidupan berbangsa kedepan. Mereka<br />
lebih banyak fokus pada diri mereka<br />
sendiri. Banyak faktor yang membuat<br />
mereka seperti itu. Salah satunya adalah<br />
jiwa keberanian mereka sebagai<br />
pemerintah dalam hal ini sebagai pelayan<br />
rakyat dalam menyelesaikan suatu<br />
persoalan yang mengatasnamakan rakyat<br />
belum begitu menyentuh realitas apa yang<br />
mereka butuhkan.<br />
Mengamati berbagai indikasi diatas.<br />
Masyarakat Bugis Makassar telah<br />
kehilangan jati dirinya yang sejati. Yang<br />
mana nilai-nilai kesejatian yang hilang itu<br />
terkandung kuat jiwa keberanian. Mengapa<br />
saya katakan dalam tulisan ini telah hilang<br />
kemana perginya? Ringkas saja bahwa jiwa<br />
keberanian selama ini yang dilakukan oleh<br />
aksi-aksi mahasiswa di Makassar adalah<br />
sebuah aksi yang justru merusak nilai-nilai<br />
keberanian orang bugis Makassar yang<br />
sudah dibuktikan secara turun temurun.<br />
Warisan yang taruhlah telah mengalami<br />
degradasi baik dari kesalahan pemahaman<br />
terlebih lagi penghayatan.<br />
Mungkin juga mereka tidak paham apa<br />
esensi keberanian serta eksistensi nilai-nilai<br />
yang ada dalam keberanian itu sendiri.<br />
Sehingga meng-kristal dalam ke-egoan<br />
yang mendarah daging itu. Bagaimana<br />
mereka mau berani jika mereka tidak<br />
menghayati keberanian itu? Dalam masalah<br />
ini kita harus melihat secara bijak dan<br />
jernih denggan pandangan yang holistik<br />
agar dapat menemukan sebuah benang<br />
merah mengapa semua ini bisa terjadi.<br />
Sehingga nantinya akan ditemukan sebuah<br />
solusi dan konsep yang akan kita resapi<br />
dengan menukik ke dalam diri masing-<br />
masing.<br />
Filosofinya. Keberanian itu mutlak adanya.<br />
Apa yang pernah diwariskan oleh para<br />
pendahulu orang Bugis Makassar secara<br />
turun temurun itu hendaknya dipahami<br />
secara seksama dengan penuh<br />
penghayatan. Yang mana kita harus berani<br />
dan yang mana kita harus mengalah. Itu<br />
sudah merupakan wujud aktualisasi dari<br />
menanamkan jiwa “pemberani” dalam<br />
diri kita. Jangan biarkan nilai-nilai positif<br />
dari keberanian itu diinterpretasikan secara<br />
negatif sehingga terjadi pendangkalan<br />
makna dan pemahaman serta<br />
penghayatannya. Padahal sesungguhnya,<br />
jika kita mau sadar bahwa apa yang telah<br />
dilakukan oleh para leluhur kita terdahulu<br />
sehingga mereka bisa membuktikan secara<br />
empirik menjadi “to warani” itu harus<br />
pula kita lanjutkan dengan penuh<br />
keberanian pula yang sejatinya ada dalam<br />
diri manusia.<br />
Dengan begitu, orang Bugis Makassar tetap<br />
di kenal sebagai pribadi yang benar-benar<br />
“ kesatria” dan “pemberani”. Tepat<br />
konsisten dalam menyuarakan kebenaran<br />
tanpa pernah ada rasa takut menyuarakan<br />
kebenaran demi kemaslahatan hidup orang<br />
banyak apapun yang akan terjadi. ”Iya<br />
ada, Iya Gau..”.</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-67474944375000390232011-03-23T11:08:00.001-07:002011-03-23T11:08:41.141-07:00Kepatutan (Mappasitinaja)<span class="Apple-style-span" style="color: #898989; font-family: Arial, Verdana; font-size: 14px; line-height: 20px;"></span><br />
<div style="text-align: justify;"><b>Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992)</b></div><b>sebagai berikut.</b><div style="text-align: justify;"><b><br />
Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau'i alau'e, ri parimanianngi<br />
maniannge, ri pariase'i ri ase'e, ri pariawai ri awae.<br />
<br />
(Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)<br />
<br />
Dari ungkapan itu, tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.<br />
<br />
Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu memangku jabatan yang ditawarkan<br />
kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu diterima.<br />
<br />
Aja' muangoai onrong, aja' to muacinnai tanre tudangeng, de'tu mullei padecengi tana. Risappa'po muompo, ri jello'po muompo, ri jello'po muakkengau.<br />
<br />
(Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, jangan sampai kamu tidak mampu memperbaiki negeri. Bila dicari barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah kamu mengia.)<br />
<br />
Ungkapan lain yang menganjurkan manusia berbuat wajar adalah sebagai berikut.<br />
<br />
Duampuangenngi ritu gau sisappa nasilolongeng, gau madecennge enrennge sitinajae. Iapa ritu namadeceng narekko silolongenngi duampuangennge. Naia lolongenna ritu:<br />
<br />
a. narekko ripabbiasai aleta mangkau madeceng, mauni engkamuna maperri ri pogaumuiritu.<br />
b. Pakatunai alemu ri sitinajae<br />
c. Saroko mase ri sitinajqe<br />
d. Moloi roppo-roppo narewe<br />
e. Moloi laleng namatike nasanresenngi ri Dewata Seuwaee<br />
f. Akkareso patuju.<br />
<br />
(Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:<br />
a. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.<br />
b. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.<br />
c. Ambillah hati orang sepantasnya<br />
d. Menghadapi semak-semak ia surut langkah<br />
e. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan<br />
f. Berusahalah dengan benar.)<br />
<br />
Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu. Dalam Lontarak disebutkan:<br />
<br />
Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale cappa'na<br />
(Serakah awalnya, menang sendiri pertengahannya, kehilangan sama sekali akhirnya.)<br />
<br />
Jadi, Lontarak amat menekankan pentingnya manusia berbuat secara wajar, seperti dapat disimak dalam ungkapan:<br />
<br />
Aja' mugaukenngi padammu tau ri gau' tessitinajae<br />
(Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia)<br />
<br />
Selanjutnya, Lontarak memperingatkan bahwa sifat serakah atau tamak, sewenang-wenang, curang, perbuatan tega atau tidak menaruh belas kasihan kepada orang lain dapat menghancurkan nilai kepatutan dan dapat menimbulkan kerusakan dalam negara. Pertama, keserahan atau ketamakan, menghilangkan rasa malu sehingga mengambil hak-hak orang lain bukan lagi hal yang tabu. Karena, orang yang bersifat serakah atau tamak tidak pernah merasa cukup sehingga apa yang dimiliki selalu dianggap kurang. Kedua, kekerasan akan menyebabkan melenyapkan kasih sayang di dalam negeri. Artinya, rakyat kecil harus mendapat perlindungan demi tegaknya suatu negara, tetapi kalau pihak yang berkuasa berbuat sewenang-wenang (hanya unjuk kekuatan) berarti kasih sayangnya kepada masyarakat akan hilang yang sekaligus memperlemah kedaulatan rakyat. Ketiga, kecurangan akan memutuskan hubungan keluarga. Artinya, orang yang curang tidak pernah merasa puas atas hak-haknya sendiri. Ia selalu berpikir untuk memiliki hak-hak orang lain. Orang seperti itu, akan menemukan kesulitan dalam hidupnya karena tidak ada orang yang akan mempercayainya. Keempat, perbuatan tega terhadap sesama manusia, melenyapkan kebenaran di dalam negeri. Artinya, para pejabat negeri dituntut untuk berbuat adil kepada rakyatnya. Berbuat tidak adil berarti kebenaran dilecehkan dan bila kebenaran dilecehkan berarti kehancuran bagi negeri. Karena itu, agar negara selamat dan berhasil, para pemimpin haruslah berbekal kejujuran disertai dengan kepatutan. (portalbugis.com)</b></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-49457029669494065152011-03-23T11:05:00.000-07:002011-03-23T11:05:11.281-07:00Pakar dari Malaysia Bangga Terhadap Bangsa Bugis<span class="Apple-style-span" style="color: #898989; font-family: Arial, Verdana; font-size: 14px; line-height: 20px;"></span><br />
<div style="text-align: justify;"><b>Tidak dapat dipungkiri, bahwa peranan diaspora Bugis dalam sejarah politik di Kesultanan Johor Malaysia memiliki makna yang sangat strtegis. Terbukti sejak abad ke-17, bangsa Bugis sudah memainkan peran politik dalam Kesultanan Johor-Riau dan semenanjung Tanah Melayu bahkan hingga dalam negara Malaysia modern ini pun sudah dua orang perdana menteri yang berasal dari keturunan bangsa Bugis.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Demikian diungkapkan Dosen Pascasarjana Universitas Sain Malaysian (USM) Prof. Dr. Mohd Isa Othman di Auditoium Unismuh Makassar saat Seminar Internasional, Senin (29/3).</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Menurutnya, Bangsa Bugis merupakan bangsa pejuang terbaik. Katanya, dalam proses perjuangannya, bangsa Bugis selalu berada posisi yang terdepan karena memiliki keberanian dan prinsipyang fundamental (ingat Prinsip Bugis, Red) yang luar biasa.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Keberanian dimaksud adalah keberanian dengan diploma dan kecerdikan, keberanian menghadapi lawan dengan keris atau badik bila diganggu dan keberanian dengan biologis dengan mengawini anak raja atau sultan sehingga menjadi bahagian dalam proses pemerintahaan tersebut.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Dalam acara seminar itu Dosen Pascasarjana USM, Dr Haji Ishak Saat, diungkap lewat dalam makalahnya berjudul Warisan Kebangsanaan Melayu Islam, menuturkan, Melayu dan Islam merupakan dua kekuatan yang tidak bisa dipisahkan karena kedua hal tersebut memiliki pertalian yang sangat erat dalam mencapai persatuan dan kesatuan.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Menurutnya, sepanjang sejarah penjajahan barat terdapat banyak tokoh Melayu-Islam muncul dalam menegakkan dakwah dan meningkatkan kegiatan keagamaan, sehingga dalam politik Melayu di Malaysia diwarnai dengan politik Islam yang memiliki akar keberagaman politik Islam-Melayu.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Pakar dari USM lainnya, Mohd Azhar Bin Bahari, mengatakan gerakan Islam di Malaysia sangat konsisten dengan issu keumatan dan sangat peduli dengan gerakan Islam dunia yang merupakan kekuatan bersama dalam peningkatan Islam sedunia.</b></div><div style="text-align: justify;"></div><b><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-weight: normal;"><b>(Tribun, Teluk Bone)</b></span></div></b>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-5498203994207702992011-03-21T18:44:00.000-07:002011-03-21T20:18:51.056-07:00Prinsip Bangsa Bugis<div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://lh3.googleusercontent.com/-HKmcOWJ-mjw/TYf9-SHifWI/AAAAAAAAAUg/uJw7yezYlQQ/s1600/173896_100002048091290_1577874_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://lh3.googleusercontent.com/-HKmcOWJ-mjw/TYf9-SHifWI/AAAAAAAAAUg/uJw7yezYlQQ/s1600/173896_100002048091290_1577874_n.jpg" /></a></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: center;"><span style="font-size: large;"><b>Prinsip Bangsa Bugis</b></span></div><div style="color: #eeeeee;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;"><br />
</span></div></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;">1.Keturunan yang diajarkan bagaimana mempertahankan kehormatan keluarga.</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
2.Keturunan yang dibesarkan dengan memandang perempuan sebagai simbol kehormatan<br />
keluarga</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
3.Keturunan yang diajarkan untuk menjaga martabat orang lain dan dirinya sendiri.</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
4. Keturunan yang diajarkan untuk tidak tunduk kepada orang lain.</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
5.Keturunan yang ingin bebas merdeka berjuang dan berusaha untuk bertahan hidup.</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
6.Keturunan yang berabad abad mentalnya telah dibentuk dan ditempa dengan keras oleh<br />
gelombang</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
7 Keturunan yang diajarkan berani menghadapi masalah dan tidak lari dari kenyataan hidup.dan</span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;"><br />
8.Keturunan yang berani berbicara hanya jika ada bukti </span></b></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"></div><div style="color: #eeeeee; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b><span style="font-size: small;">(Taro Ada Taro Gau)</span></b></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-31130488037239836532011-03-21T18:36:00.000-07:002011-03-21T20:37:20.333-07:00Paseng<div style="text-align: justify;"><a href="https://lh4.googleusercontent.com/-0_lc8K7Kr3Q/TYf89xlhTWI/AAAAAAAAAUc/QJGJovz4dyo/s1600/161343_100001998924751_8186871_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://lh4.googleusercontent.com/-0_lc8K7Kr3Q/TYf89xlhTWI/AAAAAAAAAUc/QJGJovz4dyo/s1600/161343_100001998924751_8186871_n.jpg" /></a><span style="color: #f3f3f3;">1. AJA’ MUANGOAI ONRONG, AJA’TO MUACINNAI TANRE TUDANGENG, NASABA DETUMULLEI PADECENGI TANA, RISAPPAPO MUOMPO, RIJELLO’PO MUAKKENGAU</span><br />
<div style="color: #f3f3f3;">Artinya :</div></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Janganlah menyerakahi kedudukan, jangan pula terlalu mengingini jabatan tinggi, karena engkau tak sanggup memperbaiki Negara. Kalau dicari baru akan muncul. Kalu ditunjuk baru engkau mengaku.<br />
Penjelasan :<br />
Pada hakikatnya, semua orang mencita-citakan kedudukan atau jabatan tinggi, tetapi takdir dan kesempatan membawanya kea rah lain. Akan tetapi manakala keserakahan menjadi tumpuan untuk menggapai cita-cita, maka dalam perjalanan menuju cita-cita unsure moral akan dikesampingkan, bahkan fatal bila ditunjang oleh kekuasaan. Sebaliknya seorang yang beritikad baik pada umumnya mempunyai harga diri sehingga malu akan mengemis jabatan dan bila diberikan amanah dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.<br />
<br />
2. TELLU RIALA SAPPO : TAUWE RI DEWATAE, SIRI RI WATAKKALETA, NENNIYA SIRI RI PADATTA RUPA TAU<br />
Artinya :<br />
Hanya tiga yang dijadikan pagar : rasa takut kepada Tuhan, rasa malu pada diri sendiri, dan rasa malu kepada sesame manusia.<br />
Penjelasan :<br />
Rasa takut kepada Tuhan membawa ketaqwaan dan memperkuat iman. Rasa malu kepada diri sendiri akan menekan niat buruk dan memperhalus akal budi, dan rasa malu kepada sesama manusia dapat membendung tingkah laku buruk dan meninggikan budi pekerti<br />
<br />
3. PALA URAGAE, TEBBAKKE TONGENGNGE, TECCAU MAEGAE, TESSIEWA SITULA’E<br />
Artinya :<br />
Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tak termusnahkan, kebenaran tetap akan hidup dan bersinar terus di dalam kalbu manusia.<br />
Penjelasan :<br />
Karena sumber kebenaran datangnya dari Tuhan. Yang sedikit mungkin mengalahkan yang banyak untuk sementara karena kekuatan. Akan tetapi yang banyak tidak dapat diabaikan atau dimusnahkan. Yang banyak saja sudah satu kekuatan apalagi yang banyak membina kekuatan.<br />
Adalah tidak mungkin matahari tenggelam di siang hari, seperti tidak mungkinnya memusnahkan kebenaran .<br />
<br />
Salama to pada Salama</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-2365892974778477682011-03-16T12:55:00.000-07:002011-03-21T20:37:47.608-07:00Demokrasi Dalam Kemerdekaan Manusia Bugis<dl><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://lh5.googleusercontent.com/-OrBf-HN0VPQ/TYEVaDXbfKI/AAAAAAAAASE/W4EaGw4swU0/s1600/merah-putih-di-puncak.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://lh5.googleusercontent.com/-OrBf-HN0VPQ/TYEVaDXbfKI/AAAAAAAAASE/W4EaGw4swU0/s320/merah-putih-di-puncak.jpg" width="318" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><dd style="text-align: justify;"></dd><dd style="text-align: justify;"></dd><dd style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Masih mampukah merah putih berkibar dengan gagah berani diatas landasan yang suci/tulus</dd></dl><div style="color: #f3f3f3;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Tidak terasa Indonesia telah merdeka selama hampir 65 tahun, tetapi melihat sistem pemerintahan warisan Belanda sepertinya tidak sematang dengan usianya yang mana negara2 tetangga lebih muda tetapi lebih maju dan berdaya saing. Pemerintah/penguasa bukan pelayan dibentuk atas demokrasi presidentil yang berpusat di pulau Jawa, dimana dalam melakukan pemilihan kita menganut sistem pemilu multi member Constitution (MMC) dalam parliment yang artinya jumlah kursi wakil rakyat dari setiap partai berdasarkan % perolehan suara secara komprehensif(keseluruhan), sistem ini parpol sangat berperanan menentukan wakil rakyat yg ditentukan maka timbul membagi-bagi kursi alias kekuasaan dengan berkompromi dengan sesuai dengan kepentingan. Di Samping itu ada lagi satu sistem yang dianut negara federal dengan demokrasi parlimenter seperti negara jajahan great Britain (negara persemakmuran) yaitu Single Member Constitution (SMC) yang ditentukan sesuai dgn distrik dan bisa diwakili dari non partai(bebas) sehingga kekuasaan betul-betul ditangan rakyat.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Terlepas dari urian saya diatas, kembali kepada judul demokarsi dalam kemerdekaan Manusia Bugis. Demokarsi sebagai bentuk sistem pemerintahan yang katanya berdasarkan kedaulatan rakyat, karena demokarsi itu sendiri kita jiplak dari perkataan yunani yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini tergambar dalam ungkapan Manusia Bugis tanpa ada pengaruh Yunani sebelum Indonesia betatih-tatih menyesuaikan arti demokrasi sesuai cita rasa barat tanpa merujuk kepada kearifan lokal dalam negeri seperti dalam Lontara Bugis</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><i>“Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. “</i>(Batal ketetapan raja/pemerintah, tidak batal ketetapan adat/UU, Batal ketetapan adat/UU, tidak batal ketetapan wakil kaum ,Batal ketetapan wakil kaum, tidak batal ketetapan orang)banyak/rakyat)</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Jadi manusia Bugis lebih memaknai sebuah demokrasi tanpa mengenal istilahnya karena ciri khas orang Bugis perbuatan adalah penjabaran istilah/perkataan. Demokrasi manusia bugis diakui dalam kemerdekaan yang sesungguhnya seperti yang ditegaskan dalam naskah kuno(Lontara) Bugis “<i>Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai: Seuani, tenrilawai ri olona. Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna. Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa. </i>(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang <i>volonte generale </i>atau kehenak umum dan <i>volonte de tous</i>atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam <i>Getteng </i>Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.”</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Adat menjamin hak dan protes rakyat/demonstrasi dengan lima cara sebagai berikut:</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><ol style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><li><i>Mannganro ri ade’</i>, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja/pemerintah untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang(bencana alam) karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.</li>
<li><i>Mapputane’</i>, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya(sekarang wakil rakyat) untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.</li>
<li><i>Mallimpo-ade’</i>, protes yang mendesak adat(wakil rakyat/legislatif dan kehakiman/yudikatif) karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui<i>mapputane’ </i>gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.(kayaknya seperti Mogok Lapar)</li>
<li><i>Mabbarata</i>, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan<i> panngadereng</i> oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (<i>baruga</i>) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.(Demonstrasi besar-besaran)</li>
<li><i>Mallekke’ dapureng</i>, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada, 1985)</li>
</ol><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur “demokrasi”. Ya kalau kita lihat uraian diatas sangat tertip , beradab dan beradat. Mungkin ini bisa dikatakan “pintar berkumpul dan harus bijak berbaris”</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="wp-caption alignnone" id="attachment_65363" style="color: #f3f3f3; text-align: justify; width: 510px;"><div class="wp-caption-text">Anak-anak sekarang hanya pintar berkumpul tapi tak pandai berbaris</div></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Apabila negara terus menjadi rulemodel barat sebagai penjabaran demokrasi akhir benturan dengan nilai2 kultur masyarakat dan kemudian dijadikan bahan study disekolah, para pelajar kita melihat demokrasi sebagai kedaulatan mutlak di tangan rakyat dengan cara demonstrasi jalanan akhirnya ia melihat demokarsi sebagai demo hari-hari, karena ia menganggap dirinya sebagai wakil aspirasi rakyat akhir jadi terasi rakyat.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Yang paling mengherankan Mahasiswa2 di Makassar yang Jagoan demonstrasi daripada jagoan di akademiknya, padahal ia anak warisan Manusia Bugis yg lebih dulu mengenal/memahami demokrasi dan kemerdekaan daripada Indonesia. tetapi kita juga tak bisa salahkan karena mata pelajaran sejarah demokrasi kebanyakan bahan referensinya berasal dari barat dan mereka tak sedar bahwa nenek moyangnya dulu punya referensi tersendiri…akhirnya salah kaprah” yang dikejar melayang-layang yang ditangan jatuh tabbure/hancur”….</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Kasihan negaraku silau mata karena kemewahan dan kemegahan barat padahal belum tentu sesuai dengan keadaan budaya rakyatnya.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Kasihan Budaya leluhurku, karena dianggap manusia tak perna membangun ketama’dunan seperti Sriwijaya dan majapahit yang dibesar-besarkan oleh sejarah akhirnya engaku didiskriminasikan sebagai sejarah budaya pinggiran bukan sejarah nasional.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Terima kasih Chenk Benk atat To Manurungnya….</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Salam Kompasiana dari budaya dipinggirkan oleh rezim sentralis kejawaan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">H.Amin Said Patangkai</div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-70669227804358563742011-02-24T08:56:00.000-08:002011-03-21T20:38:19.921-07:00Mengenang Lamellong Kajaolalliddong<div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Lamellong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Tentang Lamellong di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber lisan berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat tentang buah pikirannya yang menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis Bone disebut “Pangngadereng”.</div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “<span style="font-weight: bold;">Lamumpatua</span>” ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">3.Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">4.Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Gelar Kajao</span></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Karena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka Lamellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516).</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Sejak kecil dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang.. Bakat-bakat istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu Gowa telah berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan. Hanya Kerajaan Bonelah yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua kerajaan yang berseteru berdamai.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao lalliddong diangkat menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan Bone,Soppeng, dan Wajo yang disebut Perjajnjian LamumpatuE ri Timurung tahun 1582.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini :</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone : Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae. Artinya : dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><br />
</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost" style="font-style: italic;">Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada “Pangngadereng” (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">1. ADE’</span></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost"> a. Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">b. Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">c. Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">2. BICARA</span></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.</span> Pabbicara diera sekarang ini adalah Hakim.</div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">3. RAPANG</span></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">4. WARI</span></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponenpangngadereng (Ade, Bicara, Rapang, dan Wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Saat-saat Terakhir dalam Hidupnya</span></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Mengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun, maka banyak yang berpendapat, bahwa pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada dalam wilayah wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Rohaniawan” (Bissu) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak sebagai layaknya seorang perempuan.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai dengan peristiwa “Mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong menyatakan “Mallajang” (menghilang).</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Versi kedua menyatakan di saat usia Kajao lalliddong bertambah uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini, menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa </span><span class="fullpost">yang ditandai sebuah batu sebagai nisan. Nanti pada suatu saat beberapa turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehingga sekarang nampak lebih unik dari kuburan lainnya.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua. Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di masa hidupnya. Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar kuburan Kajao Lalliddong samapai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang istimewa tentang ilmu kebatinan. Bahkan masyarakat banyak menganggap Kajao Lalliddong memilki berkah, sehinnga setiap saat dikunjungi oleh banyak orang.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Tongkat Lamellong</span></span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Di dusun Lamellong sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekaran masih nampak berdiri dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah tongkat Lamellong.</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost"></span></div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><span class="fullpost">Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon” Nyelle “ yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah. Ternyata tongkat kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu masih ada. Bahkan poho besar itu dijadikan penanda oleh penduduk setempat kapan mulainya musim tanam jagung. Menurut para petani di kampung Lalliddong apabila pohon nyelle itu sudah betul-betul rimbun maka tibalah saatnya menanam jagung. Selain itu pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari daratan sudah kelihatan, puncak pohon ini sayup-sayup melambai.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Benar atau tidak, yang jelas bahwa pohon nyelle tersebut yang diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat Lamellong, masih dapat disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat setempat menganggap pohon besar itu “angker”</span></div><div style="color: #f3f3f3;"><span class="fullpost">( Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si.) Teluk Bone</span></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-72150570422874519722011-02-24T08:49:00.000-08:002011-03-22T11:41:01.640-07:00Watampone Wanuakku<div style="color: #eeeeee; text-align: justify;">Watampone wanuakku<br />
Wanua alebbireng<br />
Nairing angin tasi <br />
Tasi’na teluk Bone<br />
Massalipu pangadareng<br />
Na tudang ri langkana<br />
Nawala-wala suji <br />
Ri langkana Bola Soba </div><div style="color: #eeeeee; text-align: justify;">Mappesona temmaggangka<br />
Nasiyame ada-ada<br />
Sitonra-tonra ola<br />
Ri Tana bangkalae<br />
Bunga palla ri tengngana<br />
Mabeluwa sampo geno<br />
Unga nairing angin<br />
Lipu Arung Palakka<br />
Angin timo maruddani</div><div style="color: #eeeeee; text-align: justify;">Poleni pattasie</div><div style="color: #eeeeee; text-align: justify;">Sitinro-tinro lopi<br />
Lebo ri Tanjung Pallette<br />
Giling tinro tengnga benni<br />
Uni manu massengereng<br />
Matteddung worong-porong<br />
Ri tengngana Bulu Mampu<br />
Sunge pole tenribali<br />
Silasa tenridapi<br />
Addampengengnga kasi<br />
Ri lino ri ahera</div><div style="color: #eeeeee; text-align: justify;">By.Gita </div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-20182200205437455472011-02-24T08:46:00.001-08:002011-03-21T20:41:33.295-07:00Srikandi Bugis yang Hijrah<div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Sujud menyembah kepada Allah Sang Pencipta yang mewujudkan segalanya. Saya memeluk agama Islam dengan erat. Saya junjung di atas kepala. Kuusung ke puncak langit mahligai emas cahaya kebesaran Ilahi. Bersalawat kepada yang Mulia Rasulullah Muhamad SAW sekeluarga dan sahabatnya.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Ada tiga kekuatan gaib terpancang kukuh di dalam diriku membuat ingatan dan kesetiaan hatiku TEA LARA (Tak mau Lemngser) kepada Pesona Tanah Bugis yang tercinta :</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">1. Darah dagingku adalah tetesan darah laskar, abdi, patriot, pembela Tanah Bugis yang keramat dalam kebesaran dan kemuliaan Allah.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">2. Aku adalah hamba-MU ya Allah. Engkau takdirkan lahir di Tana Bugis yang keramat, bangkit berdiri, hidup rela berkorban, mati, memikul susah senangnya Tana Bugis Tercinta.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">3. Atas kehendak-MU ya Allah, aku hijrah bermukim dan menetap mengabadi di negeri orang. Meniti pada limpahan rahmat kasih sayang-MU ya Allah, kami bagaikan berkalung emas, karena berpucuk harapan kehendak-MU yang berlaku dan itulah yang menjadi kenyataan. Namun pesona Tana Bugis tercinta sukar lengser dalam hati dan ingatan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">Bergetar hati berdebar jantung menggelegar di dada. Berdiri merinding menangis bulu roma mengucurkan keringat, merintih ke sum-sum tulang menggerakkan otot daging mengungkit tenaga perkasa bekerja tanpa pamrih dan ikhlas yang menyadari keberadaan diri sebagai Bangsa Bugis yang ikhlas mengabdi di bumi Wanua Lain. Tidak angkuh, tidak sombong, sopan dan santun, terhormat, terpuji tidak memandang enteng sesama hamba Allah, seperti padi congkak tak berisi. Kecuali hanya merasa adanya getaran suara Ilahi membisisk dalam hati nurani nan suci. Walaupun wujud dan jasad ini ada di negeri Lipu Tenrita, namun Aura jiwaku terpancang kukuh di Tana Sumange Tana Bugis. Keabadian Aura Semangat Leluhurku takkan sirna sejengkalpun.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;">By.Gita </div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8686213307547889916.post-16705100078839520712011-02-24T08:41:00.000-08:002011-03-21T20:41:55.979-07:00BADAI PASTI BERLALU<div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 140%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><b><i><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">SIANG</span></i></b> itu, angin bertiup perlahan lembut dari arah samudera Hindia, terasa sejuk mengelus ari tubuhku dibalik switer yang kukenakan. Merah maron warnanya bergaris putih melintang. Sangat senang aku memakainya bila melaut mencari ikan bersama ayahku, karena terasa hangat dibadan melindungi dari terpaan angin dingin bila malam tiba.</div><div style="color: #f3f3f3;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 140%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Begitu aktivitasku sebagai anak nelayan mengais rezeki dilaut sekedar penyambung hidup keluarga kami. Kecuali malam minggu, aku tidak melaut bersama ayahku karena anak remaja sebayaku telah sepakat untuk kumpul bersama di pos kamling begadang main domino hingga larut malam jelang pagi. Malam berikutnya aku tertidur pulas dibuai mimpi buruk yang sangat mengerikan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Tadi malam anakda bermimpi buruk bunda.” ujarku pada keesokan paginya setelah aku terbangun dari lelap tidurku.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Mimpimu apa Mul?” tanya bundaku sambil memperbaiki jaring penangkap ikan yang sedang dijemur dihalaman rumah.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Air laut kulihat berubah warna bunda.” jawabku dengan nada cemas.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Air laut itu memangnya warna apa lagi, kalau bukan warna biru tokh!” ujar bundaku dengan nada datar.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Ah, betul bunda, tapi sangat aneh, dari warna biru menjadi hitam, kemudian berubah warna menjadi merah menyerupai darah lalu menghempas dengan dahsyatnya ke bibir pantai.” kataku serius meyakinkan bundaku yang berjalan menaiki anak tangga rumah.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Biru, hitamke, merahke, semuanya sama apa bedanya, namanya saja mimpi.” sahut bundaku kembali dengan nada kesal sembari menatapku tajam.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; margin-left: 36pt; text-align: justify;">“Tapi, warna merah itu bunda.” desakku sekali lagi dengan nada serius.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Yah namanya saja mimpi, itu khan hanya bunga-bunga tidur.” katanya lagi berupaya menyabarkan aku kemudian berlalu menuju keruang dapur menyiapkan makanan untuk sarapan pagi.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Hari berjalan terus kemudian berganti. Aku berupaya untuk melupakan mimpi buruk yang sangat mengerikan itu, namun aku dibayang-bayangi selalu kemana aku pergi, biru, hitam, kemudian berubah menjadi merah akh, kenapa terjadi demikian, sangat aneh dan apa makna dari mimpiku itu, begitu desisku perlahan sambil berjalan menuju masjid untuk sholat berjamaah. Ada benarnya kata bundaku, mimpi itu hanya bunga-bunga tidur, pikirku sekali lagi.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Dihari itu aktivitas kota Meulaboh berjalan normal sama seperti hari-hari sebelumnya, tak ada tanda-tanda atau petunjuk bila akan terjadi suatu musibah besar yang akan melanda kota itu. Rumah tempat tinggal keluarga kami berjarak hanya sekitar kurang lebih tiga ratus meter dari bibir pantai. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Perkampungan nelayan yang bermata pencaharian menangkap ikan mayoritas penghuninya, kalaupun ada penduduk selain nelayan itupun dapat dihitung, dengan jari tangan jumlahnya. Olehnya jelas terlihat aktivitas mereka disaat sore hari menjelang malam, bila hendak melaut menangkap ikan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Bila malam tiba dari kejauhan nampak jelas lampu-lampu perahu nelayan kerlap-kerlip dibuai ombak, begitu panoramanya sangat indah mempesona. Kami keluarga nelayan terdiri dari ayah, ibu, dan aku sendiri anak lelaki sulung dari tiga bersaudara anak kedua perempuan dan terbungsu anak laki-laki.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Minggu pagi 26 Desember 2004, waktu menunjukkan pukul 8.30 pagi, tiba-tiba aku dikejutkan oleh guncangan yang sangat hebat membuat semua bangunan rumah dan gedung bergoyang bagai ayunan bayi dan akhirnya aku sadar bahwa guncangan itu adalah gempa bumi yang sedang melanda negeri kami.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Sangkaanku semula itu hanya terpaan angin laut yang senantiasa datang tiba-tiba berhembus kencang, namun selang beberapa menit kemudian kembali terulang lagi dengan guncangan yang lebih dahsyat, mengakibatkan hampir seluruh bangunan gedung dan rumah-rumah penduduk kota Meulaboh hancur luluh lantak berkeping-keping. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Penduduk kampung berhamburan lari keluar rumah mencari tempat perlindungan yang lebih aman, khawatir mereka tertimpa oleh reruntuhan bangunan rumah dan gedung-gedung bertingkat.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Sesaat kemudian terdengar suara gemuruh yang amat dahsyat datangnya dari arah pantai. Sepertinya bunyi pesawat jet tempur yang baru saja lepas landas, disusul dengan suara teriakan dari warga kampung ada air,............. air............. cepat,............. cepat lari, ............. selamatkan diri, ...... begitu suara histeris dan jerit tangis terdengar memilukan hati, sambil mereka berlarian kucar-kacir berusaha menyelamatkan diri masing-masing dari air pasang yang datang tiba-tiba, mencari tempat yang lebih aman.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Hanya dalam hitungan menit gelombang air pasang yang disebut <i>Tsunam<b>i </b></i>menerjang memporak-porandakan menyapu bersih seluruh kota Meulaboh. Air diperkirakan naik setinggi 6 hingga 10 meter membuat rumah-rumah penduduk hancur berantakan berkeping-keping rata tanah.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Kami bertiga yaitu bundaku dan adik perempuanku berupaya menyelamatkan diri dengan cara saling berpegangan tangan menunju tempat yang agak ketinggian, namun tak berselang lama keduanya terpisah denganku terlepas dari genggamanku akibat terpaan derasnya gelombang air laut. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Aku berupaya keras dengan sekuat tenagaku berenang mengejarnya namun akhirnya sia-sia usahaku, karena arus gelombang lebih kuat menyeretnya jauh ketengah, dan dalam waktu yang tidak lama perlahan-lahan keduanya hilang lenyap dari pandanganku ditelan oleh ganasnya gelombang Tsunami.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Begitu derasnya air pasang, aku terseret sejauh kurang lebih satu setengah kilometer dari reruntuhan rumah kami. Terapung-apung dipermainkan oleh gelombang laut selama berjam-jam lamanya, kemudian aku tersangkut diatas pohon kayu, lalu aku berpegang erat pada dahannya agar tidak terseret lebih jauh oleh arus gelombang yang amat deras. Menanti saat surutnya air baru aku turun dari atas pohon kayu, berupaya berjalan dengan langkah tertatih-tatih menuju rentuhan rumah tempat tinggal kami.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Ketika aku tiba, kutemui tinggal puing-puing bekas reruntuhan bangunan rumah terdiri dari kepingan-kepingan kayu balok dan tumpukan sampah yang berserakan dimana-mana. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Aku tertegun sesaat, lalu berdiri mematung sembari beristigfar. Begitu melihat mayat sudah banyak bergelimpangan dimana-mana, disisi kiri-kanan jalan, dibawah rawa berlumpur, di dalam semak belukar, diatas dahan kayu, ada pula yang sedang mengapung-apung hanyut terbawa arus gelombang laut, entah berapa banyak yang telah tewas tak terhitung jumlahnya, ribuan bahkan puluhan ribu. Banyak yang kehilangan suami dan sebaliknya, anak-anak kehilangan kedua orang tuanya juga sebaliknya serta sanak famili lainnya, mereka saling cari mencari. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Aku terpisah dari anggota keluargaku bercerai berai, entah hidup, entah sudah tewas terbawa arus gelombang Tsunami, tak tahu, entah dimana mereka berada, yang aku tahu pada malam sebelum kejadian musibah, ayahku bersama adik laki-lakiku sedang melaut menangkap ikan hingga pasca musibah terjadi, keduanya belum pulang-pulang juga kerumah, tentunya sangat tipis kemungkinannya untuk dapat hidup, kecuali mendapat mujizat dari Allah, jika memang masih menghendaki hamba-Nya panjang usianya.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Sehari sesudah kejadian musibah aku menelusuri setiap sudut kota berjalan terus diantara reruntuhan bangunan yang berantakan, disela-sela ribuan mayat yang bergelimpangan. Aku berupaya sekuat tenagaku mencari terus dimana keberadaan kedua orang tuaku serta kedua adikku, kendatipun mereka telah tewas menjadi mayat. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Kota Meulaboh luluh lantak porak peranda diterjang oleh gelombang Tsunami membuat semua fasilitas umum kota itu tak dapat berfungsi, berubah menjadi kota mati. Bau amis bangkai manusia dan binatang menyengat sangat menganggu pernafasan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> Aku berjalan terus dari satu tempat penampungan ke tempat pengungsian lainnya dengan harapan dapat menemukan anggota keluargaku. Berhari-hari aku berjalan akhirnya aku sudah letih namun sia-sia usahaku karena tidak kutemukan biar satu diantara mereka. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Aku sesunggukan meratapi nasibku yang malang, aku pasrah, ikhlas melepas kepergian mereka, semuanya kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Hari-hari berikutnya aku bergabung bersama pengungsi korban lainnya bernaung dibawah tenda-tenda darurat menunggu uluran tangan dari pihak yang bersimpati terhadap korban gempa dan gelombang Tsunami. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 145%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Berhari-hari aku bersama korban lainnya berada ditempat penampungan sementara dan akhirnya bantuan kemanusiaan serta beberapa relawan sudah mulai berdatangan dari berbagai daerah diseluruh pelosok tanah air, bahkan dari negara luarpun berlomba-lomba memberikan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan, pakaian dan obat-obatan.</div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Kota-kota lainnya seperti Banda Aceh, Lhok Seumawe, Bireum, Sigli. Lhoknga tak luput dari musibah bencana serupa namun tak separah dengan kota Meulaboh karena pusat gempa sangat dekat sekali membuat kota itu terisolir dengan kota-kota lainnya di Sumut karena akses jalan dan jembatan terputus tak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Untuk menjangkau kota Meulaboh satu-satunya jalan alternatif ditempuh hanya lewat udara dengan kapasitas sangat terbatas karena hanya helikopter saja yang dapat diharapkan untuk mengangkut bantuan bahan makanan dan obat-obatan. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Aku masih dalam kebingungan, karena hingga saat ini aku belum berhasil menemukan kedua orang tuaku beserta kedua adikku. Aku tinggal sebatang kara dipengungsian dengan berbekal hanya satu-satunya pakaian yang lekat dibadan dan tak satupun barang berharga yang dapat kami selamatkan, satu kesyukuran karena aku lolos dari cengkraman maut kendati aku telah kehilangan ayah, ibu serta kedua adikku, dan aku pikir nyawa jauh lebih berharga dari segalanya, kecuali sebuah kartu tanda penduduk yang kukantongi selalu tertulis, Tengku Mukhlas, umur 27 tahun tinggal di Meulaboh Sumut. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Hanya satu harapan diiringi doa semoga badai berlalu membawa hikmah bagiku juga bagi korban gempa dan gelombang Tsunami lainnya. </div><div style="color: #f3f3f3; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="color: #f3f3f3; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Kupandangi laut yang sedang menderu, menepis tepian pantai walau hati ini trauma menjerit pedih melihat gelombang laut, seolah melantunkan sebuah tembang lara, <b><i>Badai Pasti Berlalu.</i></b></div>samsurizal arsiti tanjenghttp://www.blogger.com/profile/16144218172489808069noreply@blogger.com0