SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Kamis, 30 Desember 2010

Akulturasi Haji Masyarakat Bugis Makassar

Dalam kultur sebahagian masyarakat Bugis-Makassar atau Nusantara, gelar haji yang diperoleh setelah menunaikan ibadah haji itu dianggap sebagai sebuah gelar prestise yang menunjukkan status sosial di masyarakat yang ‘lebih’ dibanding yang lain. Status sosial ini tidak saja karena tuntutan para alumnus ibadah haji, tapi dielaborasi justru karena adanya penghargaan yang disematkan oleh masyarakatnya.

Penghargaan ini terlebih dikarenakan untuk menunaikan ibadah haji itu perlu pengorbanan yang besar; waktu, harta dan kadang nyawa. Apalagi di jaman dulu sebelum transportasi semudah jaman sekarang, menunaikan ibadah haji teramat sulit dan lama. Memerlukan ketahanan dan kesabaran untuk mengarungi lautan luas dan ganas selama 3-6 bulan untuk sampai ke sana. Kalau sekarang, hanya 8-10 jam saja naik pesawat terbang sudah cukup memindahkan badan dari tanah air ke tanah suci sana.

Selepas berhaji di tanah suci, dalam kultur bugis/makassar ada semacam ritual wisuda yang dinamakan ‘mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok/kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh syekh atau ulama yang disegani. Di jaman dulu, orang Bugis-Makassar yang belum menunaikan ibadah haji, akan malu dan segan mengenakan songkok putih karena masyarakat tahu dan akan mencibir kalau pada kenyataannya yang bersangkutan belum pernah naik haji. Orang ini akan dikatakan sebagai haji palsu, atau diolok-olok dalam bahasa bugis sebagai haji tallattu’. Sebaliknya, orang yang sudah pernah naik haji terkadang tidak mau melepas songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, agar supaya identitas ke-hajinya tetap melekat. Untuk yang perempuan, biasanya disimbolkan dengan kerudung kepala yang dipuntir mengelilingi tepi rambut dan dipasangi manik-manik atau hiasan berwarna emas atau perak.

Orang yang sudah berhaji, biasanya akan mendapat tambahan gelar haji di depan namanya, dan dengan demikian akan mendapat panggilan atau sapaan ‘haji’ atau ‘hajjah’ menggantikan atau menambahkan nama yang bersangkutan. Misalnya Haji Andi Sultan Daeng Raja, untuk menyebut salah satu pahlawan nasional berdarah Bugis yang pernah melaksakan ibadah Haji. Ada aturan tidak tertulis, bahwa sangat tidak sopan apabila menuliskan nama seseorang yang sudah berhaji tanpa menyebut gelar haji itu seperti dalam undangan. Kelupaan menulis gelar haji, bisa berakibat fatal; yang bersangkutan akan merasa tidak dihargai (ifaleppei siri’na) dan akan merenggangkan hubungan sosial diantara keduanya.

Uniknya juga, dalam prosesi lamaran pernikahan dalam budaya bugis makassar, faktor ke-haji-an kerap menjadi penentu dalam menetapkan uang panaik atau dui’menre’ atau uang mahar bagi mempelai perempuan. Calon pengantin perempuan yang sudah bergelar ‘hajjah’ sudah barang tentu mahar atau uang naiknya akan jauh lebih mahal dibanding yang belum hajjah. Besaran ‘perbedaan’ uang panaik/dui menre atau maharini kadang dihitung berdasarkan tarif resmi ONH yang diberlakukan pemerintah. Sebaliknya, adalah suatu kebanggaan buat mempelai perempuan, apabila calon penganten laki-lakinya suda bergelar haji dan dengan demikian, bisa menjadi nilai tambah dalam menentukan diterima atau tidaknya lamaran yang bersangkutan. Akan berat perjuangan seorang laki-laki yang belum haji yang hendak meminang seorang hajjah, kecuali si laki-laki mengkompensasi nya dengan uang panaik yang tidak sedikit.

Menurut Fuad Rumi, seorang ulama dan cendekiawan Makassar, kehajian terakulturasi ke dalam budaya kita untuk memberi simbol status bagi seseorang. Menjadi haji, adalah sebuah kehormatan, dan kehormatan itu disimbolkan dengan gelar dan pakaian.

Animo untuk naik haji bagi Masyarakat Bugis-Makassar ini cukup besar, sehingga walaupun terhalang oleh sistem pembatasan jamaah haji atau quota yang diberlakukan pemerintah, tetap saja banyak jalan yang ditempuh. Diantara jalan itu adalah dengan bertebaran ke propinsi-propinsi lain yang masih membuka pendaftaran. Kemudahan pembuatan KTP dan pengurusan berkas menjadi celah lebar yang memungkinkan proses diaspora jamaah asal Bugis Makassar ini. Sehingga tidak heran, sebuah koran Nasional pernah memberitakan petugas haji di Magelang sempat kelabakan mengurus dan menghadapi 116 calon jamaah haji yang hanya bisa berbahasa Bugis saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMOGA PADA MADECENG