SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Rabu, 30 Maret 2011


Badik atau Badek merupakan pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam atau ganda, dengan panjang mencapai sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamir. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah)
Perihal Badik Senjata Masyarakat Bugis
Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.
Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.
Badik makassar
Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).
Badik Bugis Luwu
Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.
Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.
Kul Buntet / Pusaran
Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.
Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.
Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.
Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.
Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.
Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).
Badik Caringin Tilu
Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Badik

Selasa, 29 Maret 2011

Patettong Ada


Bagi manusia Bugis, menegakkan hukum terhadap suatu pelanggaran merupakan kewajiban. Dalam konsep Siri' (malu, harga diri) terungkap bahwa manusia Bugis yang berbuat semaunya dan tidak lagi mempedulikan aturan-aturan adat (etika panngadereng atau peradaban) dianggap sebagai manusia yang tidak mempunyai harga diri. Siri' atau harga diri merupakan landasan bagi "pemimpin" untuk senantiasa menegakkan hukum tanpa pilih kasih. Pemimpin yang tidak mampu menegakkan hukum dianggap pemimpin lembek atau banci. Seseorang yang tidak mempunyai Siri' diumpamakan sebagai bangkai yang berjalan. Dalam ungkapan Bugis disebutkan: Siri' emmi to riaseng tau (Hanya karena Siri'-lah kita dinamakan manusia). Itulah sebabnya mengapa para orang tua Bugis menjadikan Siri' sebagai hal yang amat penting dalam nasihat-nasihat, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Said sebagai berikut.
Taro-taroi alemu siri'
Narekko de' siri'mu inrekko siri'

(Perlengkapilah dirimu dengan siri', Kalau tidak ada siri'-mu, pinjamlah siri'.)


Dalam dunia realitas, sering dijumpai seorang manusia Bugis mengorbankan sanak keluarga yang paling dicintainya demi mempertahankan harga diri dan martabatnya di tengah masyarakat. Dalam sejarah disebutkan bahwa di Sidenreng Rappang pada abad XVI, La Pagala Nene Mallomo, seorang hakim (pabbicara), dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab:

"Ade'e temmakeana' temmakke eppo"

"Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu."


Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah "taro ada taro gau" (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia "munafik" (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh
manusia Bugis.


Adat yang telah merupakan jiwa dan semangat manusia Bugis berlaku umum dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Adat atau panngadereng tidak mengenal kedudukan, kelas sosial, derajat kepangkatan, status sosial ekonomi, dan lain-lain, dalam menjatuhkan sanksi atau hukuman adat terhadap manusia-manusia yang telah melakukan pelanggaran. Dari mana pun asal manusia itu, apakah dia seorang raja, putra mahkota, orang kaya, bangsawan, sama sekali tidak mempunyai hak istimewa dalam kehidupan panngadereng masyarakat Bugis. Kedudukan kelompok elite dan masyarakat biasa diperlakukan sama dalam kehidupan masyarakat. Faktor inilah yang telah menempatkan adat pada tempat yang teratas dalam diri manusia Bugis: "Ade'temmakiana', temmakieppo" (adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu).

Data tentang bagaimana adat diperlakukan kepada semua kelompok masyarakat, berikut beberapa data historis yang dicatat oleh Abidin sebagai berikut.


1. Pada waktu Lamanussa Toakkarangeng menjadi Datu Soppeng, orang-orang Soppeng pernah hampir kelaparan karena kemarau panjang. Beliau menyelidiki sebab-sebab bencana kelaparan itu, tetapi tak ada seorang pejabat kerajaan pun yang melakukan perbuatan sewenang- wenang. Setelah beliau merenung, beliau mengingat bahwa beliau pernah memungut suatu barang di sawah seorang penduduk dan disimpannya di rumahnya sendiri. Perbuatan beliau inilah yang menurutnya menyebabkan mala petaka itu, pikir beliau. Beliau mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri karena tidak ada orang pun yang berani menjatuhkan hukuman kepada diri sang Datu. Hukuman yang dijatuhkan kepada dirinya sendiri adalah berupa denda, yaitu beliau memotong kerbau dan dagingnya dibagikan kepada rakyat. Di hadapan rakyatnya, beliau menyatakan diri bersalah karena telah memungut suatu barang dari sawah seseorang dan menyimpannya sendiri. Beliau mengumumkan barang tersebut di tengah pesta tudang sipulung (duduk bersama), tetapi tak seorang pun yang mengaku telah kehilangan
sesuatu.

2. Ketika La Pabbelle' putra Arung Matoa Wajo yang X La Pakoko Topabbele' memperkosa wanita di kampung Totinco, ia dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri.

3. Raja Bone yang bernama La Ica' dibunuh oleh orang-orang Bone karena kekejamannya.

4. Raja Bone yang bernama La Ulio "Bote'" (Sigendut) meninggal diamuk di kampung Utterung, karena dianggap berbuat sewenang-wenang kepada rakyat.

5. Ketika Toangkone Ranreng Bettempola pada abad XV dibuktikan menculik wanita yang bernama We Neba untuk diserahkan kepada temannya Opu Rajeng dari Luwu, maka ia dijatuhi pidana dipecat dengan tidak hormat lalu diusir untuk seumur hidup.

6. La Temmasonge putra raja Bone La Patau Matanna Tikka pada tahun 1710 dipidana "ripaoppangi tana" (diusir keluar Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung Tiboyong, seorang anggota dewan pemangku adat Bone. Raja Luwu menyingkirkan putrinya (yang terserang penyakit kulit yang menular) dari istina karena atas permintaan rakyat.

Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi


   Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapatinner power yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, sepertibissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsepPangngaderreng ini yaitu, 
1) wariq (sistem protokoler kerajaan)
2) adeq(adat-istiadat) 
3) bicara (sistem hukum)
 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan)
 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

   La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara:mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.;maccéraq tasiq upacara 
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taungmengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lainséré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

Konsepsi Manusia Bugis-Makassar Dalam Diri JK


LANDASAN BERPIKIR MANIFESTO
MANUSIA BUGIS-MAKASSAR
(Sebuah Gagasan Kepemimpinan – Satu Kata dan Perbuatan)

Sejarah panjang perjalanan manusia Bugis-Makassar dimulai sejak kehadiran Tomanurung di Tanah Bugis-Makassar, kehadiran Islam sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang serta kemerdekaan yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perjalanan panjang itu, sebagai suatu masyarakat yang berdaulat, Bugis-Makassar memiliki kekayaan budaya. Wujud kebudayaan disimbolkan dengan sebuah ungkapan yang sangat terkenal di kalangan manusia Bugis-Makassar, yaitu “Toddo Puli Temmalara”.
Toddo Puli Temmalara mengandung makna seperti yang tergambar dalam konstruk berikut:
Sadda, mappabati Ada
Ada, mappabati Gau
Gau mappabati Tau
Tau … sipakatau
Mappaddupa
Nasaba
Engkai Siri’ta nennia Pesseta
Nassibawai
Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia assimellereng
Makkatenni Masse ri
Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena
Alla Taala

Berdasarkan konstruk inilah, manusia Bugis-Makassar berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
PENDAHULUAN
Jika pada sajian ini digunakan istilah “manusia Bugis-Makassar”, maka yang perlu dicatat adalah istilah ini tidak bermaksud mendeskripsikan manusia Bugis-Makassar.
Deskripsi ini berusaha memberikan suatu konstruk teoretis tentang konsep jati diri manusia Bugis-Makassar menurut paham Max Weber, yakni “bebas” dari realitas. Jadi, gambaran tentang manusia yang dideskripsikan pada paparan ini adalah sesuatu yang abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga manusia Bugis-Makassar. Gambaran itu merupakan hasil dari pengalaman, penghayatan, yang selanjutnya dikonstruksikan secara analitik.

KONSTRUK MANUSIA BUGIS-MAKASSAR
Dari data yang ditemukan dalam kepustakaan Bugis-Makassar serta hasil-hasil kajian para cendekiawan manusia Bugis-Makassar dapat dikonstruksikan sebagai berikut:

Sadda, mappabati Ada
(Bunyi mewujudkan kata)
Ada, mappabati Gau
(Kata mewujudkan Perbuatan)
Gau, mappabati Tau
(Perbuatan Mewujudkan Manusia)
Tau … sipakatau
(Manusia Memanusiakan Manusia)
Mappaddupa
(Membuktikannya dalam Dunia Realitas)
Nasaba
(Karena)
Engkai Siri’ta nennia Pesseta
(Kita Memiliki Siri dan Pesse)
Nassibawai
(Disertai dengan)
Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia assimellereng
(Kesucian hati, kejujuran, keteguhan, keberanian, kerja keras dan ketekunan, kecendekiaan, daya saing yang tinggi, kemerdekaan, kesolideran)
Makkatenni Masse ri
(Berpegang teguh pada)
Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena
(Panngadereng serta bertawakal kepada)
Alla Taala
(Kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa)

Hal inilah yang menimbulkan dorongan kuat yang menampilkan pribadi yang teguh dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan yang terjelma sebagai sikap, prilaku dan temperamen, baik pada individu maupun pada kelompok masyarakat.
Ada atau kata itu digunakan manusia untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran tentang suatu benda atau tindakan. Jadi, “ada mappabati gau” mengandung makna bahwa bunyi-bunyi yang terwujud berupa kata yang dicetuskan oleh manusia harus serasi dengan tindakan dalam dunia realitas. Bagi manusia Bugis-Makassar keserasian antara perkataan dan perbuatan (ada na gau) adalah perwujudan dirinya sebagai tau (manusia). Dengan kata lain, individu yang tidak menyerasikan antara perkataan dan tindakannya berarti melanggar etika dan martabat kemanusiaan “ia ada ia gau, taro ada taro gau’ adalah ungkapan yang menegaskan pendirian manusia Bugis-Makassar untuk selalu menyerasikan antara “perkataan” dan “perbuatan”.
Dalam pandangan etika Bugis-Makassar perbuatan individu tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya karena dilandasi suatu prinsip pemuliaan martabat manusia yang dalam ungkapan Bugis-Makassar disebut “Tau Sipakatau”. Seseorang dapat disebut manusia kalau ia dapat menempatkan dirinya sebagai “tau” yang berarti bahwa “kata dan prilakunya itu mendudukkan posisi manusia pada posisi sebagai manusia yang bermartabat. Prinsip “Tau Sipakatau” itu merupakan pangkal bagi segala sikap dan tindakan manusia Bugis dalam hidupnya. Jadi, semuanya berpusat pada manusia itu sendiri. Manusia (tau) lah yang menjadi penanggungjawab atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Menurut Mattulada (1996) harkat dan martabat yang menjadi “syirrun” atau “asrar” yang berarti hakikat seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya berarti “siri”, juga bermakna kalbu atau nurani manusia. Siri itulah menjadi fokus bagi segala upaya manusia merealisasi diri dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya. Siri pulalah yang membawanya ke dalam interaksi sosial, yang secara bersama terikat dalam “Pesse”, yang berarti daya dorong yang kuat untuk mengambil tindakan “Siri”. Karena itu, apabila terjadi masalah “Siri”, maka sebagai wujud kendalinya adalah kadar “Pesse” yang ada pada diri setiap individu. Individu yang memiliki nyali yang besar akan mengambil langkah yang besar pula, sedangkan individu yang memiliki nyali yang kecil akan bertindak pula sesuai dengan kadar nyalinya. “Siri” dan “Pesse” adalah dua unsur yang memiliki muatan utama atau keutamaan pada “Tau”, manusia secara individu.
Berdasarkan pandangan itu terwujudlah performansi khas manusia Bugis-Makassar yang tersimpul dalam sebuah frase atau ungkapan, yaitu: TODDO PULI TEMMALARA. Toddo Puli bermakna tertancap dengan kuat, berketetapan hati secara sungguh-sungguh; temmalara bermakna tidak goyah. Jadi, toddo puli temmalara berarti berketetapan batin yang kuat dan tidak tergoyahkan.
a. Toddo Puli Temmalara ri Wawang Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng (Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran)

Ati mapaccing berarti bawaan hati yang baik. Manusia Bugis-Makassar dan manusia Bugis pada umumnya menjadikan bawaan hati, niat atau pikiran yang baik sebagai “perisai” dalam kehidupan. Dalam Paseng disebutkan:
“Duai Kuala Sappo, unganna panasae, belo kanukue.” (Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)
Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis-Makassar, hati dan pikiran yang baik akan menghasilkan kebaikan dalam kehidupan. Dalam Lontara disebutkan:
Empat hal yang membawa kepada kebaikan:
a. Pikiran yang benar,
b. Jualan yang halal,
c. Melaksanakan perbuatan benar,
d. Berhati-hati menghadapi perbuatan buruk
Dalam kehidupan sehari-hari manusia Bugis-Makassar, harus selalu bersikap waspada terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat melunturkan niat atau bawaan hati yang baik karena niat yang baik kadang-kadang dapat terkalahkan oleh dorongan-dorongan nafsu keserakahan dan buruk lainnya, yang selanjutnya membangkitkan niat-niat yang jahat. Dalam Paseng disebut: Empat macam yang memburukkan niat dan pikiran, yaitu (i) kemauan, (ii) ketakutan, (iii) keengganan, dan (iv) kemarahan.
Di samping hati yang tulus, bawaan hati dan pikiran yang baik, yang menjadi perisai dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar. Lempu (lurus, kejujuran) lawan katanya adalah jekko (bengkok, culas, curang, dusta, khianat, seleweng, tipu, dan semacamnya). Menurut Lontara, manusia yang jujur memiliki empat ciri, yaitu: (i) ia dapat melihat kesalahannya sendiri, (ii) mampu memaafkan kesalahan orang lain, (iii) kalau ia diberi kepercayaan untuk menangani suatu urusan, ia tidak berhianat, dan (iv) ia menepati janji yang diucapkan.
Bagi manusia Bugis-Makassar, orang yang jujur adalah manusia yang menjadikan dirinya sebagai titik tolak. Dalam ungkapan disebutkan: Kabbecci alemu iolo inappa mukabbecci taue lainnge (cubit dirimu lebih dahulu sebelum engkau mencubit orang lain). Dalam ungkapan lain disebutkan: Apabila engkau menghendaki agar sesuatu dikerjakan orang banyak, umpamakanlah perahu, apabila engkau suka menaikinya, perahu itulah yang engkau gunakan untuk memuat orang lain, itulah yang dimaksud kejujuran. Maksud kutipan ini adalah setiap orang haruslah bersikap fair. Orang yang jujur selalu memperlakukan orang lain menurut standar yang diharapkan dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati orang lain, sebagaimana ia menghormati dirinya sendiri. Ia menghormati hak-hak orang lain sebagaimana ia menghormati hak-haknya. Manusia yang dapat berlaku jujur terhadap orang lain adalah manusia yang dapat berlaku jujur pada dirinya sendiri.
b. Toddo Puli Temmalara ri Assimellerennge
(Teguh tak Tergoyahkan pada Persaudaraan)

Assimellereng mengandung makna kesolideran, kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, atau antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang juga dikenal dengan konsep sipa’depu-repu (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak keluarga, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette perru.
Bagi manusia Bugis-Makassar, kesetiaan pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam kehidupan sehari-hari, manisfestasi tentang kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan: Tejjali tettappere banna mase-mase (Kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada Tuan: tiada permadani, sofa empuk untuk mendudukkan Tuan. Yang kami miliki hanyalah kasih sayang). Bagi manusia Bugis-Makassar menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai seorang tuan rumah sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi tetamunya, padahal dia sendiri tidak melakukannya dalam kehidupanya sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-mata untuk memberikan yang terbaik kepada saudaranya, sesamanya.
Adapun syarat eratnya persaudaraan itu meliputi 5 hal, yaitu;
(1) mau sependeritaan,
(2) sama-sama merasakan kegembiraan,
(3) rela memberikan harta benda sewajarnya,
(4) ingat mengingatkan pada hal-hal yang benar, dan
(5) selalu saling memaafkan. Dasar persaudaraan itu dapat terlimpul dalam ungkapan berikut.

Mali siparappe, malilu sipakainge
Sirebba tannga tessirebba pasorong
Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui no.

(Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,
Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata
Saling mengangkat dan tak saling menjatuhkan)
Berbeda pendapat, tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan)

Dalam Mapalina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Sawerigading sebagai tokoh sentral dalam cerita menunjukkan kesetiakawanan yang sangat tinggi seperti tertera dalam kutipan berikut:
… janganlah ada di antara kita sudi kembali ke Bugis-Makassar sebagai mayat hidup. Satu nyawa bagi kita bersama, …
Pada kutipan itu tergambar bahwa kesetiakawanan adalah segala-galanya, walaupun nyawa sebagai taruhannya.

c. Toddo Puli Temmalara ri Resoe
(Teguh tak Tergoyahkan pada Usaha)

Reso berarti usaha dan tinulu berarti tekun. Dalam ungkapan disebutkan:
Resopa natinulu kuae topa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata
(Hanya dengan usaha/kerja keras disertai dengan ketekunan sering menjadi titian rahmat Ilahi).
Ungkapan itu memberi petunjuk bagi manusia Bugis-Makassar bahwa tidak akan ada rizki yang melimpah tanpa disertai dengan kerja keras. Artinya, untuk mendapatkan rizki (dalle) tidak dapat diperoleh dengan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Rizki tidak boleh diperoleh dengan meminta-minta atau mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Dalam ungkapan lain disebutkan:
“Wahai anak-anak! Tidak adakah pekerjaannmu sehingga engkau tinggal nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak ada, pergilah ke Baruga (balai pertemuan) mendengar soal adat, ataukah ke pasar mendengar warkah para penjual”.
Ungkapan di atas memberi himbauan kepada para pemuda untuk mencari bekal hidup (life skill) berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat menjadi modal hidup untuk berusaha. Selanjutnya, dalam ungkapan yang berbeda ditekankan:
“Janganlah membiasakan dirimu pada empat jenis perbuatan: (1) meminta-minta, (2) meminjam-minjam, (3) memperoleh upah dari suruhan orang lain, dan (4) menumpang makan pada orang lain”.

Ungkapan di atas menunjukkan ajaran kemandirian. Perbuatan meminta-minta, meminjam, memperoleh upah dari suruhan orang lain, serta menumpang makan di rumah orang lain termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Setiap orang haruslah berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mendapatkan rizki yang halal (massappa dalle hallala). Manusia Bugis-Makassar harus yakin (toddo puli) bahwa dalam meniti kehidupan, keberhasilan hanya dapat diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan serta memanfaatkan akal pikiran atau ilmu pengetahuan.
Seorang lelaki pemalas, enggan bekerja keras, atau tidak mempunyai kepandaian dan keterampilan hidup amat tercela dalam adat Bugis-Makassar. Orang yang demikian itu tidak dipandang sebagai pria, tetapi dipandang sebagai banci. Dalam ungkapan disebutkan:
Empat macam sifat lelaki sehingga ia dipandang sebagai wanita dan tidak diperhitungkan sebagai lelaki, yaitu: (1) ia pemalas, (2) ia lemah, (3) ia dungu, dan (4) ia bodoh. Dalam ungkapan ini tergambar dengan jelas bahwa, ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta ketekunan berusaha dalam meniti kehidupan ini sangat diperlukan. Dengan demikian, seorang yang memperoleh harta benda dengan cara yang tidak benar seperti bertindak korup sangat tercela dalam adat Bugis-Makassar dan Bugis pada umumnya. Hal ini tergambar pada ketetapan Sawerigading untuk selalu menjaga nama baik negeri Bugis-Makassar pada saat ia ditawarkan untuk berdamai dengan raja di negeri Saliweng Langi, Guttu Tellamma. Guttu Tellemma menawarkan hadiah berupa sejumlah harta benda berharga kepada Sawerigading asal Sawerigading mau melupakan pertikian di antara mereka. Tetapi, Sawerigading menolak menerima tawaran itu. Dia pantang menerima suap dari mana pun.
Usaha keras dan kegigihan untuk mencapai keberhasilan tergambar pula dalam peristiwa ’Perang-perang Makassar melawan V.O.C Belanda’.. Walaupun Sultan Hasanuddin harus ditundukkan dalam Perjanjian ’Bongaya’.

d. Toddo Puli Temmalara ri Panngaderennge
(Teguh tak Tergoyahkan pada Panngadereng)

Panngadereng, yaitu Ade (adat), Rapang (undang-undang), Wari (aturan perbedaan pangkat kebangsaan), Bicara (ucapan, bicara), dan Syara (hukum syariat Islam). Yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut adalah asas.
(1) Mappasilassae, diwujudkan dalam manisfestasi ade agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam panngadereng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya, ia menyatakan diri dalam usaha-usaha mencegah sebagai tindakan penyelamatan.
(2) Mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk keberlangsungan pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilitas perkembangan yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam rapang.
(3) Mappallaiseng diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembaga-lembaga sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketiadaan ketertiban, dan kekacaubaluan. Hal ini dinyatakan dalam wari dalam segala variasi perlakuannya
(4) Mappasisaue, diwujudkan dalam manisfestasi ade untuk menimpakan deraan pada setiap pelanggaran ade yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini adanya pedoman legalitas dan represif yang sangat konsekuen dijalankan. Di samping itu asas ini dilengkapi dengan siariawong yang diwujudkan dalam manifestasi ade untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik setiap orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Syara adalah aturan syariat Islam yang menjadi unsur panngadereng.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar dan Bugis pada umumnya, panngadereng merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena:
(1) Manusia Bugis-Makassar telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial budayanya dan telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada panngaderenglah ketenteraman dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin.
(2) Sistem sosial berdasarkan ketetapan panngadereng telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis-Makassar. Mereka percaya dan sadar bahwa hanya dengan panngaderenglah pola hidupnya, kepemimpinannya serta segala bentuk interaksi sosialnya dapat terwujud.
(3) Di dalam pangngadereng terdapat unsur kepercayaan yang hakiki yang harus ditaati. Karena dengan pangngadereng itulah, pola tingkah laku yang terbimbing sehingga pemimpin dapat bersikap lebih jujur, arif, serta berpihak kepada orang banyak.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, adat adalah segala-galanya. Seseorang hanya tunduk pada peraturan-peraturan adat menurut hukum-hukum yang yang telah disepakati. Adat menjamin kebebasan mereka dan tidak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan adat. Masyarakat bersama-sama dengan pemimpinnya menentukan nasib masa depannya. Perlakuan sewenang-wenang dari seorang penguasa tidak mendapat tempat dalam sistem panngadereng. Bagi masyarakat Bugis-Makassar dan Bugis pada umumnya adat adalah tuannya, bukan penguasa. Baik pemimpin maupun masyarakat harus tunduk dan taat pada adat atau hukum yang berlaku.
e. Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae
(Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak)
Lontara telah menempatkan manusia pada posisi yang amat penting. Ia menempati sebagai posisi subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, rakyat adalah segala-segalanya. Bilamana dalam suatu perkara, terdapat ketidaksepahaman di antara pemimpin dan masyarakat, maka hal itu harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam sebuah ungkapan disebutkan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega
(Batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum,
Batal ketetapan kaum, tak batal ketetapan orang banyak (rakyat)

Selanjutnya, konstruk teoretis yang telah tertanam dalam alam pikiran masyarakat pada umumnya harus mendapat tempat yang layak dalam dunia realitas, mulai dari pemimpinnya sampai kepada masyarakatnya.
Assimellereng yang mengandung makna kesolideran, kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, atau antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang juga dikenal dengan konsep sipa’depu-repu (saling memelihara). Bagi manusia Bugis-Makassar, kesetiaan pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam kehidupan sehari-hari, manisfestasi tentang kesehatian dan kerukunan. Bagi manusia Bugis-Makassar menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai seorang tuan rumah sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi tetamunya, padahal dia sendiri tidak melakukannya dalam kehidupanya sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-mata untuk memberikan yang terbaik kepada saudaranya, sesamanya.
Pembentukan Entitas Manusia Bugis-Makassar di Nusantara
Figur ketokohan yang memperlihatkan kepada dunia ’entitas Manusia Bugis-Makassar’ yang sangat kuat dan tegas dalam prinsip, sangat arif dan bijak dalam falsafah hidup serta sangat mumpuni sebagai pemimpin yang konsisten antara ’kata’ dan ’perbuatan’. Telunjuk bukan untuk ditudingkan kehadapan siapa saja, melainkan bahasa tubuh yang memperlihatkan sebuah hakikat diri Manusia Bugis-Makassar yang sangat berpegang teguh pada prinsip, sebagaimana ungkapan berikut :
Bulu temmaruttunna Alla Taala kuonroi maccalinrung;
Engkaga balinna Alla Taala na engka balikku;
Mettekka tenribali, massadaka tenri sumpala
(Gunung yang kokoh kuat milik Allah Yang Maha Tinggi yang kutempati berlindung;
Tidak ada yang dapat menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa;
Kalau saya berbicara, tidak ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat, tidak ada lagi yang bisa menyanggah)

Kekalahannya pada Perang Makassar dan ditundukkan oleh ’Perjanjian Bongaya’ bukanlah akhir dari runtuhnya sebuah peradaban Manusia Bugis-Makassar dalam berperadaban.
Namun, akhir dari perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru menjadi awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang-orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi justru banyak dimotori oleh kalangan bangsawan.
Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia.
Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi. Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak-perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”
Di tempat yang baru, orang-orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial-politik lokal. Sebutlah seperti di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam sekalipun.
“Sampai abad XVIII, para prajurit ganas dari Makassar ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia tersebut.
Semoga bahasan ini ada manfaatnya.

Minggu, 27 Maret 2011

Arung Palakka Pahlawan dari Bone

ARUNG PALAKKA PETTA MALAMPEE GEMME’NA


Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.
Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :
1.Da Unggu (putri)
2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri Girang (putra)
4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba (putri), dan
6.Da Umpi Mappolobombang (putri)
Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :
1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan
2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16
Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.
Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua
Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :
1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;
2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);
3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
4. Da Ompo
Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.
Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.
Situasi Tahun 1646
Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut. Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowayang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya.
Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.
Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.
Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.
Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.
Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.
Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.
Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.
Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.
Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.
Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.
Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.
Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengahhari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).
Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka.
Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu.
Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.
Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.
Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.
Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)
Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.
Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.
Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.
Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.
Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu.
Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.
Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut.
Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri. (Sumber : Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan samapai tahun 1905).
(Ditulis Oleh : Mursalim, S.Pd., M.Si.)
SEMOGA PADA MADECENG