SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Kamis, 24 Februari 2011

BADAI PASTI BERLALU

SIANG itu, angin bertiup perlahan lembut dari arah samudera Hindia, terasa sejuk mengelus ari tubuhku dibalik switer yang kukenakan. Merah maron warnanya bergaris putih melintang. Sangat senang aku memakainya bila melaut mencari ikan bersama ayahku, karena terasa hangat dibadan melindungi dari terpaan angin dingin bila malam tiba.
 Begitu aktivitasku sebagai anak nelayan mengais rezeki dilaut sekedar penyambung hidup keluarga kami. Kecuali malam minggu, aku tidak melaut bersama ayahku karena anak remaja sebayaku telah sepakat untuk kumpul bersama di pos kamling begadang main domino hingga larut malam jelang pagi. Malam berikutnya aku tertidur pulas dibuai mimpi buruk yang sangat mengerikan.
“Tadi malam anakda bermimpi buruk bunda.” ujarku pada keesokan paginya setelah aku terbangun dari lelap tidurku.
“Mimpimu apa Mul?” tanya bundaku sambil memperbaiki jaring penangkap ikan yang sedang dijemur dihalaman rumah.
“Air laut kulihat berubah warna bunda.” jawabku dengan nada cemas.
“Air laut itu memangnya warna apa lagi, kalau bukan warna biru tokh!” ujar bundaku dengan nada datar.
“Ah, betul bunda, tapi sangat aneh, dari warna biru menjadi hitam, kemudian berubah warna menjadi merah menyerupai darah lalu menghempas dengan dahsyatnya ke bibir pantai.” kataku serius meyakinkan bundaku yang berjalan menaiki anak tangga rumah.
“Biru, hitamke, merahke, semuanya sama apa bedanya, namanya saja mimpi.” sahut bundaku kembali dengan nada kesal sembari menatapku tajam.
“Tapi, warna merah itu bunda.” desakku sekali lagi dengan nada serius.
“Yah namanya saja mimpi, itu khan hanya bunga-bunga tidur.” katanya lagi berupaya menyabarkan aku kemudian berlalu menuju keruang dapur menyiapkan makanan untuk sarapan pagi.
Hari berjalan terus kemudian berganti. Aku berupaya untuk melupakan mimpi buruk yang sangat mengerikan itu, namun aku dibayang-bayangi selalu kemana aku pergi, biru, hitam, kemudian berubah menjadi merah akh, kenapa terjadi demikian, sangat aneh dan apa makna dari mimpiku itu, begitu desisku perlahan sambil berjalan menuju masjid untuk sholat berjamaah. Ada benarnya kata bundaku, mimpi itu hanya bunga-bunga tidur, pikirku sekali lagi.
Dihari itu aktivitas kota Meulaboh berjalan normal sama seperti hari-hari sebelumnya, tak ada tanda-tanda atau petunjuk bila akan terjadi suatu musibah besar yang akan melanda kota itu. Rumah tempat tinggal keluarga kami berjarak hanya sekitar kurang lebih tiga ratus meter dari bibir pantai.
Perkampungan nelayan yang bermata pencaharian menangkap ikan mayoritas penghuninya, kalaupun ada penduduk selain nelayan itupun dapat dihitung, dengan jari tangan jumlahnya. Olehnya jelas terlihat aktivitas mereka disaat sore hari menjelang malam, bila hendak melaut menangkap ikan.
 Bila malam tiba dari kejauhan nampak jelas lampu-lampu perahu nelayan kerlap-kerlip dibuai ombak, begitu panoramanya sangat indah mempesona. Kami keluarga nelayan terdiri dari ayah, ibu, dan aku sendiri anak lelaki sulung dari tiga bersaudara anak kedua perempuan dan terbungsu anak laki-laki.
Minggu pagi 26 Desember 2004, waktu menunjukkan pukul 8.30 pagi, tiba-tiba aku dikejutkan oleh guncangan yang sangat hebat membuat semua bangunan rumah dan gedung bergoyang bagai ayunan bayi dan akhirnya aku sadar bahwa guncangan itu adalah gempa bumi yang sedang melanda negeri kami.
Sangkaanku semula itu hanya terpaan angin laut yang senantiasa datang tiba-tiba berhembus kencang, namun selang beberapa menit kemudian kembali terulang lagi dengan guncangan yang lebih dahsyat, mengakibatkan hampir seluruh bangunan gedung dan rumah-rumah penduduk kota Meulaboh hancur luluh lantak berkeping-keping.
Penduduk kampung berhamburan lari keluar rumah mencari tempat perlindungan yang lebih aman, khawatir mereka tertimpa oleh reruntuhan bangunan rumah dan gedung-gedung bertingkat.
Sesaat kemudian terdengar suara gemuruh yang amat dahsyat datangnya dari arah pantai. Sepertinya bunyi pesawat jet tempur yang baru saja lepas landas, disusul dengan suara teriakan dari warga kampung ada air,............. air............. cepat,............. cepat lari, ............. selamatkan diri, ...... begitu suara histeris dan jerit tangis terdengar memilukan hati, sambil mereka berlarian kucar-kacir berusaha menyelamatkan diri masing-masing dari air pasang yang datang tiba-tiba, mencari tempat yang lebih aman.
 Hanya dalam hitungan menit gelombang air pasang yang disebut Tsunami menerjang memporak-porandakan menyapu bersih seluruh kota Meulaboh. Air diperkirakan naik setinggi 6 hingga 10 meter membuat rumah-rumah penduduk hancur berantakan berkeping-keping rata tanah.
 Kami bertiga yaitu bundaku dan adik perempuanku berupaya menyelamatkan diri dengan cara saling berpegangan tangan menunju tempat yang agak ketinggian, namun tak berselang lama keduanya terpisah denganku terlepas dari genggamanku akibat terpaan derasnya gelombang air laut.
Aku berupaya keras dengan sekuat tenagaku berenang mengejarnya namun akhirnya sia-sia usahaku, karena arus gelombang lebih kuat menyeretnya jauh ketengah, dan dalam waktu yang tidak lama perlahan-lahan keduanya hilang lenyap dari pandanganku ditelan oleh ganasnya gelombang Tsunami.
 Begitu derasnya air pasang, aku terseret sejauh kurang lebih satu setengah kilometer dari reruntuhan rumah kami. Terapung-apung dipermainkan oleh gelombang laut selama berjam-jam lamanya, kemudian aku tersangkut diatas pohon kayu, lalu aku berpegang erat pada dahannya agar tidak terseret lebih jauh oleh arus gelombang yang amat deras. Menanti saat surutnya air baru aku turun dari atas pohon kayu, berupaya berjalan dengan langkah tertatih-tatih menuju rentuhan rumah tempat tinggal kami.
 Ketika aku tiba, kutemui tinggal puing-puing bekas reruntuhan bangunan rumah terdiri dari kepingan-kepingan kayu balok dan tumpukan sampah yang berserakan dimana-mana.
Aku tertegun sesaat, lalu berdiri mematung sembari beristigfar. Begitu melihat mayat sudah banyak bergelimpangan dimana-mana, disisi kiri-kanan jalan, dibawah rawa berlumpur, di dalam semak belukar, diatas dahan kayu, ada pula yang sedang mengapung-apung hanyut terbawa arus gelombang laut, entah berapa banyak yang telah tewas tak terhitung jumlahnya, ribuan bahkan puluhan ribu. Banyak yang kehilangan suami dan sebaliknya, anak-anak kehilangan kedua orang tuanya juga sebaliknya serta sanak famili lainnya, mereka saling cari mencari.
Aku terpisah dari anggota keluargaku bercerai berai, entah hidup, entah sudah tewas terbawa arus gelombang Tsunami, tak tahu, entah dimana mereka berada, yang aku tahu pada malam sebelum kejadian musibah, ayahku bersama adik laki-lakiku sedang melaut menangkap ikan hingga pasca musibah terjadi, keduanya belum pulang-pulang juga kerumah, tentunya sangat tipis kemungkinannya untuk dapat hidup, kecuali mendapat mujizat dari Allah, jika memang masih menghendaki hamba-Nya panjang usianya.
 Sehari sesudah kejadian musibah aku menelusuri setiap sudut kota berjalan terus diantara reruntuhan bangunan yang berantakan, disela-sela ribuan mayat yang bergelimpangan. Aku berupaya sekuat tenagaku mencari terus dimana keberadaan kedua orang tuaku serta kedua adikku, kendatipun mereka telah tewas menjadi mayat.
Kota Meulaboh luluh lantak porak peranda diterjang oleh gelombang Tsunami membuat semua fasilitas umum kota itu tak dapat berfungsi, berubah menjadi kota mati. Bau amis bangkai manusia dan binatang menyengat sangat menganggu pernafasan.
 Aku berjalan terus dari satu tempat penampungan ke tempat pengungsian lainnya dengan harapan dapat menemukan anggota keluargaku. Berhari-hari aku berjalan akhirnya aku sudah letih namun sia-sia usahaku karena tidak kutemukan biar satu diantara mereka.
Aku sesunggukan meratapi nasibku yang malang, aku pasrah, ikhlas melepas kepergian mereka, semuanya kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Hari-hari berikutnya aku bergabung bersama pengungsi korban lainnya bernaung dibawah tenda-tenda darurat menunggu uluran tangan dari pihak yang bersimpati terhadap korban gempa dan gelombang Tsunami.
Berhari-hari aku bersama korban lainnya berada ditempat penampungan sementara dan akhirnya bantuan kemanusiaan serta beberapa relawan sudah mulai berdatangan dari berbagai daerah diseluruh pelosok tanah air, bahkan dari negara luarpun berlomba-lomba memberikan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan, pakaian dan obat-obatan.
Kota-kota lainnya seperti Banda Aceh, Lhok Seumawe, Bireum, Sigli. Lhoknga tak luput dari musibah bencana serupa namun tak separah dengan kota Meulaboh karena pusat gempa sangat dekat sekali membuat kota itu terisolir dengan kota-kota lainnya di Sumut karena akses jalan dan jembatan terputus tak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Untuk menjangkau kota Meulaboh satu-satunya jalan alternatif ditempuh hanya lewat udara dengan kapasitas sangat terbatas karena hanya helikopter saja yang dapat diharapkan untuk mengangkut bantuan bahan makanan dan obat-obatan.
Aku masih dalam kebingungan, karena hingga saat ini aku belum berhasil menemukan kedua orang tuaku beserta kedua adikku. Aku tinggal sebatang kara dipengungsian dengan berbekal hanya satu-satunya pakaian yang lekat dibadan dan tak satupun barang berharga yang dapat kami selamatkan, satu kesyukuran karena aku lolos dari cengkraman maut kendati aku telah kehilangan ayah, ibu serta kedua adikku, dan aku pikir nyawa jauh lebih berharga dari segalanya, kecuali sebuah kartu tanda penduduk yang kukantongi selalu tertulis, Tengku Mukhlas, umur 27 tahun tinggal di Meulaboh Sumut.
Hanya satu harapan diiringi doa semoga badai berlalu membawa hikmah bagiku juga bagi korban gempa dan gelombang Tsunami lainnya.
Kupandangi laut yang sedang menderu, menepis tepian pantai walau hati ini trauma menjerit pedih melihat gelombang laut, seolah melantunkan sebuah tembang lara,  Badai Pasti Berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMOGA PADA MADECENG