SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Rabu, 16 Maret 2011

Demokrasi Dalam Kemerdekaan Manusia Bugis

Masih mampukah merah putih berkibar dengan gagah berani diatas landasan yang suci/tulus
Tidak terasa Indonesia telah merdeka selama hampir 65 tahun, tetapi melihat sistem pemerintahan warisan Belanda sepertinya tidak sematang dengan usianya yang mana negara2 tetangga lebih muda tetapi lebih maju dan berdaya saing. Pemerintah/penguasa bukan pelayan dibentuk atas demokrasi presidentil yang berpusat di pulau Jawa, dimana dalam melakukan pemilihan kita menganut sistem pemilu multi member Constitution (MMC) dalam parliment yang artinya jumlah kursi wakil rakyat dari setiap partai berdasarkan % perolehan suara secara komprehensif(keseluruhan), sistem ini parpol sangat berperanan menentukan wakil rakyat yg ditentukan maka timbul membagi-bagi kursi alias kekuasaan dengan berkompromi dengan sesuai dengan kepentingan. Di Samping itu ada lagi satu sistem yang dianut  negara federal dengan demokrasi parlimenter seperti negara jajahan great Britain (negara persemakmuran) yaitu Single Member Constitution (SMC) yang ditentukan sesuai dgn distrik dan bisa diwakili dari non partai(bebas) sehingga kekuasaan betul-betul ditangan rakyat.
Terlepas dari urian saya diatas, kembali kepada judul demokarsi dalam kemerdekaan Manusia Bugis. Demokarsi sebagai bentuk sistem pemerintahan yang katanya berdasarkan kedaulatan rakyat, karena demokarsi itu sendiri kita jiplak dari perkataan yunani yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini tergambar dalam ungkapan Manusia Bugis tanpa ada pengaruh Yunani sebelum Indonesia betatih-tatih menyesuaikan arti demokrasi sesuai cita rasa barat tanpa merujuk kepada kearifan lokal dalam negeri seperti dalam Lontara Bugis
“Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. “(Batal ketetapan raja/pemerintah, tidak batal ketetapan adat/UU, Batal ketetapan adat/UU, tidak batal ketetapan wakil kaum ,Batal ketetapan wakil kaum, tidak batal ketetapan orang)banyak/rakyat)
Jadi manusia Bugis lebih memaknai sebuah demokrasi tanpa mengenal istilahnya karena ciri khas orang Bugis perbuatan adalah  penjabaran istilah/perkataan. Demokrasi manusia bugis diakui dalam kemerdekaan yang sesungguhnya seperti yang ditegaskan dalam naskah kuno(Lontara) Bugis “Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai: Seuani, tenrilawai ri olona. Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna. Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa. (Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)
Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehenak umum dan volonte de tousatau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).
Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.”
Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.
Adat menjamin hak dan protes rakyat/demonstrasi dengan lima cara sebagai berikut:
  1. Mannganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja/pemerintah untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang(bencana alam) karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.
  2. Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya(sekarang wakil rakyat) untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.
  3. Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat(wakil rakyat/legislatif dan kehakiman/yudikatif) karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melaluimapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.(kayaknya seperti Mogok Lapar)
  4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.(Demonstrasi besar-besaran)
  5. Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada, 1985)
Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur “demokrasi”. Ya kalau kita lihat uraian diatas sangat tertip , beradab dan beradat. Mungkin ini bisa dikatakan “pintar berkumpul dan harus bijak berbaris”
Anak-anak sekarang hanya pintar berkumpul tapi tak pandai berbaris
Apabila negara terus menjadi rulemodel barat sebagai penjabaran demokrasi akhir benturan dengan nilai2 kultur masyarakat dan kemudian dijadikan bahan study disekolah, para pelajar kita melihat demokrasi sebagai kedaulatan mutlak di tangan rakyat dengan cara demonstrasi jalanan akhirnya ia melihat demokarsi sebagai demo hari-hari, karena ia menganggap dirinya sebagai wakil aspirasi rakyat akhir jadi terasi rakyat.
Yang paling mengherankan Mahasiswa2 di Makassar yang Jagoan demonstrasi daripada jagoan di akademiknya, padahal ia anak warisan Manusia Bugis yg lebih dulu mengenal/memahami demokrasi dan kemerdekaan daripada Indonesia. tetapi kita juga tak bisa salahkan karena mata pelajaran sejarah demokrasi kebanyakan bahan referensinya berasal dari barat dan mereka tak sedar bahwa nenek moyangnya dulu punya referensi tersendiri…akhirnya salah kaprah” yang dikejar melayang-layang yang ditangan jatuh tabbure/hancur”….
Kasihan negaraku silau mata karena kemewahan dan kemegahan barat padahal belum tentu sesuai dengan keadaan budaya rakyatnya.
Kasihan Budaya leluhurku, karena dianggap manusia tak perna membangun ketama’dunan seperti Sriwijaya dan majapahit yang dibesar-besarkan oleh sejarah akhirnya engaku didiskriminasikan sebagai sejarah budaya pinggiran bukan sejarah nasional.
Terima kasih Chenk Benk atat To Manurungnya….
Salam Kompasiana dari budaya  dipinggirkan oleh rezim sentralis kejawaan.
H.Amin Said Patangkai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMOGA PADA MADECENG