SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK BUGIS RANTAU TARO ADA TARO GAU

Minggu, 08 Mei 2011

Sulawesi Selatan dan Sejarah Tradisional

Sulawesi, pulau berbentuk laba-laba di sebelah timur Kalimantan dan sebelah selatan Filipina, dihuni oleh campuran orang-orang yang kompleks yang menggunakan kira-kira tiga puluh bahasa utama yang bisa diidentifikasikan. Penduduk Sulawesi yang paling menonjol dalam jumlahnya, yaitu orang-orang Bugis dan Makassar di semenanjung barat daya, telah memainkan peranan penting tidak hanya dalam sejarah politik pulau itu, tetapi juga sebagai pedagang dan pelaut mereka telah menjelajah segenap penjuru kepulauan ini, sekurang-kurangnya sejak pertengahan abad keenam belas. Sejak dahulu sudah ada hubungan dengan Jawa, sebagaimana ditunjukkan dengan disebutnya beberapa pulau di atau dekat Sulawesi dalam Nagarakertagama, puisi agung keratin Jawa Majapahit pada abad ke empat belas; pahlawan-pahlawan Bugis muncul sebagai tokoh dalam wayang Jawa. Di Jawa, orang-orang Bugis dan Makassar berperang baik di pihak maupun melawan Belanda pada akhir abad ke enam belas, dan memperoleh reputasi yang menakutkan berkat kemahiran dan kesiagaan mereka menggunakan pisau. Para bangsawan Makassar dan Bugis yang terbuang menetap di Banten dan Jambi, dan menjadi terlibat dalam intrik-intrik politik di sana serta di kerajaan Johor di Malaysia, dan pada akhirnya menguasai aristokrasi Johor yang berkuasa dan kerajaan Selangor yang berdekatan. Sensus pada tahun 1930 melaporkan bahwa 10 persen dari orang Bugis dan 2 persen orang Makassar di Hindia Belanda tinggal di laur Sulawesi Selatan. Suatu permukiman Bugis yang cukup besar di Malaya Inggris, khususnya di Johor, terdiri dari hampir 5.000 orang. Di Sepanjang pantai Kalimantan terdapat permukiman Bugis yang besar, di Kabupaten Pontianak dan Balikpapan, di luar kota, orang-orang Bugis merupakan 50 persen dari penduduk. Di antara para pemukim terdapat hanya orang-orang yang berbahasa Bugis, mungkin suatu petunjuk adanya migrasi berkelanjutan. Juga ada migrasi intern di Sulawesi Selatan, tetapi hanya sedikit orang yang bukan berasal dari Sulawesi, yang tinggal di luar Kota Makassar.
Dewasa  ini orang-orang Bugis dan Makassar bersama-sama berjumlah kira-kira 80% dari keseluruhan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan orang Bugis sedikit lebih banyak. Bahasa Bugis dan Makasasr berasal dari leluhur yang sama, dan kedua kelompok itu mempunyai persamaan kebudayaan dan adat, dan terjadi kawin-mawin antara kalangan kelas atas mereka. Yang mirip kebudayaannya dengan kedua suku bangsa ini adalah orang-orang Mandar di bagian barat laut provinsi itu dan sekarang sudah membentuk provinsi sendiri yaitu Sulawesi Barat. Orang-orang Toraja yang berdiam di tengah-tengah pulau itu, secara budaya dan fisik sangat berbeda dengan orang Bugis dan Makassar. Suku Toraja dipandang sebagai sumber utama budak oleh kaum bangsawan Bugis, yang sering kali dibantu dalam memperoleh budak-budak itu oleh kaum bangsawan Toraja yang keluarganya terikat oleh tali perkawinan. Perbedaan budaya yang jelas antara kedua kelompok ini diperkuat oleh dipeluknya agama Islam oleh orang-orang Bugis dan Makassar hampir secara keseluruhan, sedangkan orang Toraja kebanyakan beragama Kristen.
Secara geografis semenanjung itu bercirikan dataran rendah di sepanjang pantai dan di cekungan tengah, yang di tengah-tengahnya ada satu dana besar, Danau Tempe. Tanahnya subur, tetapi kering di sepanjang pantai selatan, sehingga “gudang beras” yang sesungguhnya adalah dataran rendah luas yang membentang dari Watampone (Bone) di pantai timur, melewati Sengkang (Wajo) di tepi Danau Tempe, ke Pinrang, Sidrap dan Parepare di pantai barat. Tanah inti suku Bugis adalah daratan yang subur ini, dan pertanian merupakan kegiatan ekonomi utama mereka, sedangkan suku Makassar dari daerah selatan yang lebih kering sudah lama terkenal sebagai pelaut yang ulung (Tetapi hal ini sama sekali bukan suatu perbedaan yang tajam, dan banyak orang Makassar dari dahulu sampai sekarang adalah petani padi, dan banyak orang Bugis menjadi pelaut, pedagang atau perompak). Ada dua gunung besar, Lompobattang di selatan dan Latimojong di utara, dua gunung ini dan kakinya telah memberikan perlindungan bagi banyak pemberontak dan penjahat yang membuat Sulawesi Selatan sangat terkenal.
Dari tahun 1950 sampai pertengahan 1965 sebagian besar dari bagian selatan Pulau Sulawesi terbenam dalam pemberontakan. Kerusuhan itu mulai ketika orang-orang muda yang telah berjuang sebagai gerilyawan selama revolusi, untuk mendirikan Republik Indonesia yang bebas dari kekuasaan Belanda, tidak diberi status resmi dalam tentara nasional. Sejak permulaan sudah timbul protes, terhadap apa yang dianggap sebagai posisi yang menguntungkan bagi orang-orang Jawa dalam alat pemerintahan sipil dan militer dari negara baru itu, dan kekhawatiran (sebagian diilhami Belanda) terhadap “kolonialisme” Jawa, baik yang dinyatakan dengan pengiriman para pejabat sipil dan militer Jawa untuk menjalankan pemerintahan daerah maupun dalam transmigrasi para petani Jawa miskin ke daerah-daerah yang relatif tidak berpenduduk di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selama dua tahun para pemimpin pemberontakan mencari dasar ideologi yang lebih hakiki bagi protes mereka, baik untuk membenarkannya maupun sebagai sarana untuk menarik dukungan masyarakat. Komunisme dipertimbangkan, tetapi ditolak dan yang Islam disetujui. Di bawah panji-panji Darul Islam (Negara Islam), pemberontakan itu menjelang tahun 1956 menguasai seluruh Sulawesi Selatan kecuali kota-kotanya.
Sekalipun pecahnya pemberontakan dapat ditelusuri kepada kegiatan dan keputusan orang-orang tertentu, petunjuk terhadap watak dan kegigihannya harus dicari dalam sifat dan sejarah masyarakat tempat peristiwa itu terjadi.
Sulawesi Selatan adalah suatu masyarakat yang sering kali digambarkan sebagai “feodal” atau “tradisional”. Ini adalah suatu masyarakat tempat terdapat bangsawan yang kuat, dan memiliki ketaatan yang kuat kepada aturan hukum adat. Tetapi dalam pada itu, Sulawesi Selatan merupakan masyarakat yang bercirikan persaingan ketat, seseorang dinilai tidak hanya oleh statusnya yang diperkirakan, tetapi juga oleh kualitas pribadinya. Penduduk seringkali digambarkan fanatik dalam pengabdian mereka kepada Islam. Sebagaimana dalam semua masyarakat, tidak mudah memisah-misahkan apa apa yang “tradisional” itu, karena baik perubahan maupun adat merupakan bagian dari kebudayaan. Istilah itu bila digunakan dalam tulisan ini mengacu pada masyarakat yang ada sebelum dimasukkannya seluruh daerah itu ke dalam HIndia Belanda pada tahun 1905-1910. Banyak unsur dari masyarakat itu yang tetap bertahan sampai datangnya kemerdekaan pada tahun 1949, bahkan sampai saat ini, sekalipun kecepatan perubahan di Sulawesi, seperti halnya di tempat-tempat lain, lebih tinggi selama abad kedua puluh daripada dalam abad-abad sebelumnya.
Adalah hampir tidak mungkin untuk menetapkan seperti apa masyarakat tradisional itu, sebelum ada hubungan dengan pengaruh-pengaruh asing. Kalaupun ada masalah semacam itu karena penyelenggaraan catatan sejarah di Sulawesi Selatan baru terjadi sesudah dimulainya hubungan dengan para Ulama Islam dan Pedagang Eropa (Portugis) dalam pertengahan abad ke enam belas sampa iawal abad ketujuh belas. Catatan sejarah berbagai kerajaan memang mengandung informasi mengenai masa-masa sebelumnya, beberapa di antaranya jelas bersifat mitologis, tetapi unsur mitologi pun bisa memberikan petunjuk mengenai sejarah awal daerah ini serta pengertian mengenai gagasan tentang masyarakat dan pemerintahannya. Misalnya dongeng-dongeng yang dimasukkan ke dalam kebanyakan catatan sejarah ini menggambarkan bahwa penguasa asli dari kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan telah turun dari surga, mereka adalah tomanurung. Pada umumnya tiga kejadian berturut-turut telah digambarkan, dalam dua kejadian terdahulu keturunan tomanurung mendirikan kerajaan-kerajaan yang kuat, terutama Luwu, tetapi Toraja, Goa, dan Bone juga disebut. Dalam kejadian ketiga, setelah selang tujuh turunan ketika tidak ada raja dan terjadi kekacauan, tomanurung menampakkan diri di beberapa wilayah; dan diminta oleh rakyat untuk memegang jabatan raja dan mengembalikan perdamaian dan ketenteraman.
Dongeng-dongeng tomanurung mempunyai arti sosial dan politik cukup besar di Sulawesi Selatan. Anggapan berasal dari surga bagi kaum bangsawan itu merupakan dasar “hak yang didapat dari Tuhan” untuk memerintah, dan pembenaran untuk kedudukan istimewa bangsawan. Gagasan bahwa tomanurung dikirim dari surga untuk mengakhiri masa kekacauan dan untuk membawa perdamaian dan kemakmuran membenarkan pelembagaan pemerintahan maupun pengendaliannya oleh kaum bangsawan. Dan akhirnya, dimasukkannya tradisi bahwa rakyat minta tomanurung untuk menerima kedudukan raja memperkenalkan suatu unsur yang mirip dengan “kontrak pemerintah” dari pemikiran politik barat, dan mengandung arti pembatasan terhadap kekuasaan untuk raja.
Asal kesurgaan penguasa dilambangkan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan (arajang – tombak, lembing, keris, perhiasan emas, bendera, bajak suci, dsb.) yang dikatakan bekas milik tomanurung. Penguasa memperoleh kekuatan dan posisinya sebagai penjaga tanda-tanda kebesaran tersebut. Hilangnya tanda-tanda kebesaran tersebut akan sangat memperlemah baik penguasa maupun kerajaan itu. Tanda-tanda kebesaran itu dipercaya telah diberkati dengan kekuatan spiritual yang bersifat magis, dan merupakan pusat pemujaan dalam kerajaan tersebut. Pemeliharaan tanda-tanda kebesaran dipercayakan kepada biksu (pendeta Hindu-Budha), yang dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kekuatan luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMOGA PADA MADECENG